Muhammad Fitrah, fotografer Harian Umum Singgalang, pada Selasa (2/2) karya fotonya terpilih oleh Dewan Juri Anugerah Foto Jurnalistik Adinegoro --terdiri atas Firman Ichsan, Enni Nuraheni dan Oscar Motuloh-- sebagai pemenang yang berhak mendapatkan tropi, sertifikat dan uang senilai Rp50.000.000.
-----
Kisah M. Fitrah, di Balik Gempa Padang
Jumat, 05 Pebruari 2010
Muhammad Fitrah, fotografer Harian Umum Singgalang, pada Selasa (2/2) karya fotonya terpilih oleh Dewan Juri Anugerah Foto Jurnalistik Adinegoro --terdiri atas Firman Ichsan, Enni Nuraheni dan Oscar Motuloh-- sebagai pemenang yang berhak mendapatkan tropi, sertifikat dan uang senilai Rp50.000.000.
Berikut ini penuturan dari Muhammad Fitrah di balik proses kreatif, naluri jurnalisme dan nurani jiwanya di tengah gempa Padang, Sumatera Barat:
Saat gempa dahsyat 7,9 SR mengguncang Kota Padang tanggal 30 September 2009 tersebut, saya lagi asyik-asyik membuat teks foto di ruangan redaksi lantai III Surat Kabar Harian Singgalang di jalan Veteran No.17 Padang. Teks tersebut untuk dua buah foto sekaligus yang baru saja saya ambil momennya. Momen itu unik karena sebuah bendera merah putih berkibar setengah tiang di kantor Balai Kota Padang, sedangkan di kantor Gubernur Sumbar yang kantornya berada di Kota Padang juga, justru benderanya berkibar penuh.
Padahal hari itu bertepatan dengan hari berkabungnya bagi rakyat Indonesia, yaitu peristiwa yang memilukan Gerakan 30 September PKI atau yang lebih dikenal dengan G 30 S PKI. Seperti biasa saya meletakkan ransel yang berisi kamera saya di belakang komputer, tempat saya bekerja.
Pas gempa dahsyat itu mengoyak bangunan redaksi, dengan reflek saya langsung menyambar ransel saya tersebut. Dan berhamburan lari menuju lantai dasar, dengan sempoyongan. Sesampai di halaman kantor saya, dan belum reda perasaaan cemas saya akibat ayunan gempa tersebut, tahu-tahu terdengar bunyi gemuruh. Ternyata sebuah bangunan kampus Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) Prayoga Padang yang berlantai IV, dan berjarak lebih kurang 100 meter dari kantor saya itu runtuh. Langsung dengan spontan saya berlarian menuju ke lokasi gedung tersebut di saat orang kebanyakan pada panik menyelamatkan diri mereka sendiri. Saat saya berlarian itu, saya langsung mengeluarkan kamera dari dalam ransel saya.
Selain saya, ada seorang mahasiswa yang ikut berlarian menuju lokasi tersebut. Sampai di lokasi kejadia tersebut, saya mendengar suara jeritan minta tolong dari dalam reruntuhan gedung yang semula berlantai IV berobah menjadi lantai I tersebut. Saya sambil menenteng kamera dan memanggul ransel saya dibantu mahasiswa tadi langsung menuju sumber suara jeritan yang memilukan tersebut.
Kami berdua langsung mengeluarkan puing-puing yang runtuh, yang menghalangi sumber suara tersebut.
Setelah kami menyingkirkan puing-puing itu, ternyata kami tercengang melihat sejumlah atlet beladiri Aikido terperangkap dan menjerit sejadi-jadinya. Mereka minta kepada kami berdua untuk segera mengeluarkan mereka dalam himpitan.
Saat itu saya tidak mengambil momen, Kenapa???...karena hati nurani saya berkata itu bukan momen yang bagus. Setelah ada yang bisa diselamatkan dan ada pula orang lain yang ikut untuk menolong menyelematkan. Barulah saya mengambil momen foto dan membidikan kamera pas saat seorang atlet perempuan diselamatkan pemuda dan dikeluarkan menjauh dari gedung kampus tersebut. Dan dia lagi terluka dan menangis sejadi-jadinya.
Mamaaaa...mamaaa...begitu gadis itu memanggil orang tua dengan perasaan takut yang mendalam. Sayapun merinding dibuatnya.
Setelah saya mengambil momen gadis tersebut, dengan spontan pula saya menyarankan kepada dia dan menyuruh dia istirahat dan bergabung dengan teman-teman dia yang telah selamat juga.
Kendati suasana panik dan mencekam di dalam benak saya tertanam hasil jepretan saya harus yang terbaik. Harus punya nilai berita. Maka saya pun dengan keadaaan panik itu tetap memikirkan komposisi yang bagus.
Saking semangatnya saya mengambil momen dan menurut saya sudah cukup mengambil momen foto, barulah saya sadar ternyata saya punya anak-anak dan istri tercinta. Hati saya bergumam, bagaimana keadaaan mereka di rumah???
Bergegaslah saya menuju ke lokasi kantor redaksi saya tadi untuk menuju ke halaman parkir, karena sepeda motor saya berada di sana. Menjelang sampai ke lokasi, saya liat seorang nenek tengah sesak nafas mungkin jantungan akibat trauma.
Wargapun menolong menenang si nenek tersebut dan saya pun mengabadikan momen tersebut. Setelah itu, barulah saya mengambil sepeda motor saya dan saya pun tancap gas menuju rumah mertua saya. Karena saya, istri dan anak-anak saya sampai saat ini masih tinggal numpang di rumah mertua.
Menjelang kerumah yang berjarak lebih kurang 2 kilometer, saya melihat orang berlarian dan kendaraan-kendaraan tak tentu arah berseleweran. Dan, saya pun melihat gedung-gedung yang runtuh di sepanjang jalan Veteran, dan saya pun berhenti untuk mengambil momen gedung yang runtuh itu.
Setelah itu saya tancap gas lagi dengan motor bebek kesayangan menuju rumah, tapi lagi-lagi saya menemukan sebuah rumah tengah dilalap si jago merah. Saya pun berhenti lagi dan mengambil momen foto lagi.
Usai itu saya tancap gas sejadi-jadi, sesampai depan halam rumah mertua saya tersebut. Menjeritlah istri saya yang tengah mengendong dan memapah tiga putra kesayangan saya yang masih kecil-kecil.
"Udaaaa....udaaaaaa..." Dia langsung merangkul saya sambil menangis. Dikiranya suaminya telah tiada. Karena dia bersama anak-anak sudah lama menanti saya.
Setelah menenangkan istri dan anak-anak, saya pun langsung mengambil laptop yang saya letakan di dalam lemari kamar kami. Dengan perasaan berdebar-debar saya langsung menuju kamar. Bagaimana tidak berdebar, kondisi rumah berantakan. Isi rumah, yakni lemari dan isi berserakan dan menghalangi saya menuju kamar saya di lantai dua paviliun.
Belum lagi gempa susulan menghantui saya, dan istri wanti-wanti mengingatkan saya hati-hati. Setelah laptop saya temukan, sayapun pamitan kepada istri dan anak-anak untuk meliput peristiwa dasyat, mencari momen foto yang lainnya.
Sambil mencari momen lain, saya pun teringat kedua orang tua saya, bagaimana pula nasib keduanya??? Usai mengambil momen yaang lain, saya pun meluncur ke rumah orang tua saya berjarak lebih kurang 10 kilometer, dan saya menembus kemacetan malam itu.
Setelah kondisi kedua orang tua saya baik-baik saja, saya pun makin tenang guna memikirkan dan mengirimkan foto-foto saya ambil tadi ke kantor berita Inggris, Reuters. Ooyaa, selain saya sebagai wartawan foto di harian Singgalang, saya juga stringer di kantor berita Inggris, Reuters. Karena saya berkeyakinan, bahwa koran Singgalang tidak mungkin terbit besok harinya (tanggal 1 Oktober 2009), karena kondisi kantor kami dan percetakan rusak parah.
Di dalam hati saya bergumam, koran Singgalang boleh tidak terbit, tapi karya foto jurnalistik saya harus disiarkan dan dimuat seluruh dunia pada hari ini juga. Maka, saya pun putar otak mencari kalau-kalau ada warga yang memiliki arus listrik dari genset.
Sayapun langsung teringat kantor RRI yang tetap mengudara walaupun ada musibah gempa dahsyat.
Sampai disana, sayapun mengedit foto-foto hasil sore hari yang kelam itu. Usai mengedit, saya pun bertanya kepada salah satu wartawan RRI itu, apakah ada jalur Internet, dan dia langsung mengiyakan, dan legalah hati saya.
Namun, kelegaan hati saya cuma sesaat, karena hot spot Internetnya macet pula. Gundahlah hati saya, saya terus melihat jam tangan saya menunjukan pukul 22.30 WIB. Tanpa disangka-sangka operator RRI tengah menyetel siaran yang sayup-sayup terdengar dan tak asing di telinga saya mendengarnya, yakni siaran radio Shusi FM Radio Orang Padang yang notabene group koran Singgalang sendiri.
Langsung saya teringat bahwa radio Shusi FM tersebut punya hot spot Internet juga. Saya pun berkemas dan bergegas ke luar menuju motor saya. Tapi ada pula kendalanya hari hujan lebat malam itu. Tanpa pikir panjang sambil memakel mantel hujan saya pun bergegas menuju studio radio Shusi FM yang berjarak lebih kurang 5 kilometer dari RRI Padang.
Sampai di sana, legalah hati saya ternyata Internet lancar. Dengan harap-harap cemas saya mengirimkan foto satu per satu ke emailnya Reuters. Dan tak lupa saya cantumkan no hp flexi teman saya yang kerja di radio tersebut. Karena jaringan komunikasi HP saya terputus akibat jaringan rusak karena gempa.
Jam sudah menunjukan pukul 23.00 WIB, makin berdebar-debar saya mengirimkan foto sore tadi. Baru saja foto pertama saya terkirim, berderinglah hp teman saya tersebut. Ternyata terdengar suara laki-laki yang ternyata suara mas Beawiharta wartawan foto Reuters Jakarta.
Bersoraklah mas Bea tersebut, kenapa tidak ternyata beliau tetap standby di ruangan menunggu harap-harap cemas apakah bisa saya mengirimkan foto untuk Reuters atau jangan-jangan saya kena musibah pula.
Akupun bersorak pula, karena foto saya telah sampai walaupun hanya satu baru yang terkirim.
Saya bilang kepada beliau, kondisi saya dan keluarga aman-aman saja dan saya terus megirimkan foto-foto walaupun satu-satu. Karena kalau mengirimkan sekaligus, pihak Reuters malah tidak bisa membukanya.
Setelah mengirimkan sejumlah foto, barulah kondisi capek saya terobati. Kenapa tidak saya bangga menjadi stringer Reuters, karena pihak Reuters menghargai hak paten dengan menuliskan lengkap-lengkap nama saya dan nama media saya. Yakni selalu mencantumkan nama REUTERS/MUHAMMAD FITRAH/SINGGALANG NEWSPAPER di bawah foto yang saya kirimkan tersebut.
Besoknya sayapun terkejut dan bangga bukan kepalang, seluruh koran di dunia memuat foto hasil jepretan saya menjadi headline di media mereka masing-masing. Tentu saja salah satu momen fotonya adalah yang membuat saya mendapatkan juara Anugerah Adinegoro 2009 ini.
Untuk itu pertama sekali saya ucapkan puji syukur kepada ALLAH SWT, karena DIA lah yang mentakdirkan saya bisa menyuguhkan foto jurnalistik yang terbaik buat umat di dunia ini. Serta dorongan moril rekan-rekan wartawan se-Sumbar, khususnya wartawan harian Singgalang dan juga wartawan foto Reuters. Dan juga istri dan anak-anak saya tercinta.
Sekali lagi ini saya memang di takdirkan ALLAH SWT bisa jadi begini.
Profil Fitrah
Muhammad Fitrah dilahirkan di Padang pada 18 Desember 1969. Berkiprah sebagai wartawan foto sejak tahun 2000. Sebelum di Harian Singgalang juga pernah di koran-koran di Sumbar lainnya. Menjadi wartawan foto di Harian Singgalang sejak tahun 2004. Selain itu, Ferry, sapaan akrabnya, merupakan stringer kantor berita Inggris, Reuters, sejak tahun 2005 hingga sekarang.
Sepanjang karirnya, ia telah meraih sejumlah penghargaan, seperti Juara Lomba Foto Jurnalistik Bank Nagari, Sumbar, juara tunggal Lomba Foto Jurnalistik Partai Golkar, Sumbar, meraih Piagam Penghargaan Jurnalistik Award dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Sumbar. Bahkan salah satu karya foto jurnalistiknya berhasil masuk dalam 120 foto jurnalistik terbaik seluruh dunia sepanjang tahun 2009, atau "The Year 2009" yang dirilis oleh media Amerika, Boston.com groupnya News York Time, dan meraih juara foto jurnalistik terbaik tertinggi Foto Pilihan Tempo 2009. (*)
1 komentar:
Fitrah, penglihatan yang bagus itu anugerah, jadi tetaplah memotret, jangan berhenti. salam, bea.
Posting Komentar