----------------
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia
SEKILAS SEJARAH IJTI
A. AWAL PENDIRIAN
25 April 1998. Berawal dari pembicaraan beberapa reporter Indosiar dan SCTV, yang sedang mengadakan peliputan di Pulau Panjang Kepulauan Seribu, maka disepakati ide pembentukan Organisasi Jurnalis Televisi , yang bisa menjadi wadah pemberdayaan dan peningkatan profesi para jurnalis televisi. Pertemuan ini melahirkan gagasan pembentukan organisasi jurnalis televisi swasta dan pemerintah.
30 Mei 1998. Pembentukan organisasi itu pada akhirnya direalisasikan dengan pertemuan informal di Pasar Festifal Kuningan Jakarta Selatan, yang dihadiri sejumlah reporter dan kameramen televisi dari ANTV, Indosiar, SCTV dan RCTI. Pertemuan ini membicarakan berbagai masalah yang dihadapi para pengemban profesi ini. Baik disebabkan belum adanya kode etik, maupun berbagai tekanan-tekanan yang membatasi tugas profesi.
Disepakati pembentukan forum Komunikasi Jurnalis Televisi, yang diharapkan menjadi sarana berkumpul dan membicarakan berbagai masalah yang kerap dihadapi para pengemban profesi ini.
06 Juni 1998. Melanjutkan pembicaraan di pasar Festival Kuningan Jakarta selatan , maka para jurnalis Televisi yang menghadiri pertemuan di Café Venesia.TIM Jakarta akhirnya mendeklarasikan pembentukan Forum Komunikasi Jurnalis Televisi. Dengan tujuan utama sebagai wadah pemberdayaan dan peningkatan profesionalisme para jurnalis Televisi.
30 Juni 1998. Berangkat dari pemikiran bersama itulah maka, diadakan pertemuan antara para pemimpin redaksi dan anggota forum di ANTV, gedung Sentra Mulia Lt-18 Kuningan Jakarta.
Disinilah gagasan pembentukan organisasi wartawan televisi itu dimatangkan, karena ternyata para pimpinan di bagian pemberitaan jauh-jauh hari juga memikirkan hal yang sama, terutama setelah lengsernya presiden Soeharto 22 Mei 1998 yakni perlunya organisasi wartawan televisi.
Pimpinan Redaksi ANTV selaku tuan rumah pertemuan menyatakan, yang dibutuhkan sekarang adalah organisasi yang memiliki kekuatan menegakkan etika jurnalistik, dan melindungi anggotanya, bukan sekedar forum komunikasi.
Dari pertemuan tersebut kemudian dibentuk panitia persiapan pembentukan organisasi, yang didalamnya terdiri dari kelompok kerja yakni :
Pokja AD / ART : Ruslan Abdul Ghani (Ketua) Pokja Kode Etik : Sumita Tobing (Ketua) Pokja Persiapan Kongres : Herling Tumbel (Ketua) Redaksi ANTV disepakati sebagai sekretariat panitia
03 Juli 1998. Hasil dari Kelompok Kerja yakni membentuk Panitia Persiapan Kongres yakni :
Panitia Pengarah Ketua : Dedy Pristiwanto (Indosiar) Wakil Ketua: Sumita Tobing (SCTV) Anggota : H. Azkarmin Zaini (ANTV), Yasirwan Uyun (TVRI), Faizar Noor (TPI), Crys Kelana (RCTI).
Panitia Pelaksana Ketua Presidium : Haris Jauhari (TPI) Anggota Presidium : Iskandar Siahaan (SCTV), Adman Nursal (ANTV), Nugroho F. Yodho (Indosiar), Teguh Juwarno (RCTI),
Selain mempersiapkan Kongres, panitia juga diberi mandat untuk menyelenggarakan seminar dengan topik "Peran Politik Jurnalisme Televisi" pada tanggal 7 Agustus 1998, di Hotel Menara Peninsulla dan Kongres I tanggal 8 dan 9 Agustus 1998 ditempat yang sama.
Persiapan Kongres Dalam mempersiapkan Kongres pertama, kepanitiaan dibentuk dengan melibatkan sebanyak mungkin pihak , bukan saja dari reporter, kameramen dan video editor tetapi juga pihak pimpinan dan menejemen televisi. Ini dilakukan dengan pertimbangan, pimpinan atau manajemen televisi, akan menjadi mitra bagi organisasi Jurnalis Televisi.
Stasiun Televisi sebagai industri, merupakan pihak yang juga berkepentingan dengan hadirnya wadah ini, baik dalam memperjuangkan kehidupan pers yang kondusif, berkembangnya industri pers serta peningkatan professionalisme profesi Jurnalis Televisi.
Kongres I Kongres Pertama Jurnalis Televisi Indonesia diadakan di Hotel Menara Peninsulla tanggal 8-9 Agustus 1998, diikuti tidak kurang dari 300 peserta dari jurnalis TVRI, RCTI, SCTV, TPI, Indosiar dan ANTV. Inilah Kongres yang berlangsung semarak di awal gerakan reformasi.
Gerakan reformasi itu pula yang mempermudah insan jurnalis televisi untuk berhimpun dengan semangat kebersamaan memperjuangkan kebebasan pers dengan menjunjung tinggi kejujuran, keadilan serta professionalisme dalam menegakkan demokrasi.
Berbagai keputusan yang dihasilkan adalah Deklarasi pembentukan organisasi yang mengambil nama Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia disingkat IJTI. Kongres juga menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Program Kerja dan Kode Etik Jurnalis Televisi Indonesia serta menetapkan saudara Haris Jauhari sebagai Ketua Umum terpilih sekaligus ketua Formatur dan anggota Formatur adalah Reva Deddy Utama, Zihni Rifai, Nugroho F. Yudho dan Iskandar Siahaan.
Rapat Formatur akhirnya menetapkan susunan Dewan Pengurus sebagai berikut :
Ketua Umum : Haris Jauhari (TPI) Sekretaris Jenderal : Ahmad Zihni Rifai (RCTI) Wakil Sekjend : Nugroho F.Yudho (Indosiar) Bendahara : Kukuh Sanyoto ( RCTI).
Ketua Bidang Organisasi : Reva Deddy Utama (ANTV) Ketua Bidang Diklat dan Litbang : Iskandar Siahaan (SCTV) Ketua Bidang Kesejahteraan dan Advokasi : Despen Omposunggu (Indosiar) Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri : Usy Karundeng (TVRI).
Pengurus juga memberikan mandat antara lain kepada Azkarmin Zaini (ANTV), Deddy Pristiwanto (Indosiar), Yasirwan Uyun (TVRI), Sumita Tobing (SCTV), sebagai anggota Dewan Kehormatan IJTI, yang bertugas mengawasi pelaksanaan Kode Etik IJTI.
Dalam perjalananya, karena Ahmad Zihni Rifai tidak aktif lagi sebagai jurnalis, maka kedudukanya digantikan oleh Nugroho F.Yudho sebagai Sekjend dan Teguh Juwarno sebagai Wakil Sekjend. Sementara Despen Omposunggu karena tidak aktif juga kedudukanya sebagai Ketua Bidang Advokasi dan Kesejahteraan digantikan oleh Herling Tumbel. Kukuh Sanyoto sebagai Bendahara juga karena tidak aktif lagi sebagai jurnalis dan tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai pengurus, maka kedudukanya diganti Immas Sunarnya (TVRI)
B. PENATAAN ORGANISASI
Kongres memang telah berakhir, namun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang diputuskan dalam Kongres ternyata masih banyak ketimpangan dan tidak sinkron, sehingga untuk melancarkan tugas-tugas Dewan Pengurus, diadakan pengkajian ulang oleh Pleno Pengurus IJTI secara mendalam dengan maksud menyempurnakanya. Pembahasan dilakukan diredaksi TPI, setelah Pengurus IJTI tersusun lengkap sampai ketingkat staf departemen.
Kesulitan pertama menjalankan organisasi ini adalah tidak adanya sekretariat yang mapan. Untuk itu dari sumbangan dermawan, maka terkumpulah dana untuk mengontrak kantor Sekretariat di Jalan Danau Poso D-1 Nomor 18 Benhil Jakarta Pusat. Disinilah kegiatan IJTI dilakukan, sekitar empat bulan setelah Kongres. Sebelum itu kegiatan berupa seminar tentang Pers dan Penyiaran dikendalikan oleh Pengurusnya dari markas dimana ia berkantor sebagai jurnalis.
Antusiasme Jurnalis dari berbagai Daerah meningkat dan terdapat desakan agar IJTI membentuk cabang di daerah. Namun karena terganjal perangkat organisasi (AD/ART) yang memang tidak mengamanatkan terbentuknya cabang IJTI di daerah, maka pengembangan organisasi itupun menjadi persoalan tersendiri. Namun berdasarkan rapat pengurus, ditetapkan pembentukan Kordinatoriat Daerah, dengan terlebih dahulu membuat aturan main organisasi yang dipercayakan pada Bidang Organisasi IJTI.
Sejak itulah lahir pedoman Organisasi Korda yang berisi ketentuan organisasi IJTI di tingkat Daerah Propinsi, sebagai kepanjangan tangan IJTI pusat di Jakarta, khusus untuk membina keanggotaan dan melakukan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan peningkatan profesi jurnalisme anggota.
C. PENGEMBANGAN ORGANISASI
Pada tahun 1999, secara resmi terbentuk 9 Korda. Mereka adalah kepanjangan tangan dari pengurus IJTI di daerah. Kesembilan Korda tersebut adalah :
1. Korda Jawa Barat di Bandung , dengan Ketuanya Ilmi Hatta. 2. Korda Jawa Tengah di Semarang, dengan Ketuanya Bambang Hengky. 3. Korda Jawa Timur di Surabaya, dengan Ketuanya Dheny Reksa. 4. Korda Sumatera Utara di Medan (meliputi Aceh dan Riau) dengan Ketuanya Bagi Astra Sitompul. 5. Korda Sumatera Selatan di Palembang, dengan Ketuanya Epran Mendayun. 6. Korda Kalimantan Selatan di Banjarmasin, dengan Ketuanya Beben Mahdian Noor. 7. Korda Sulawesi Selatan di makassar, dengan ketuanya Hussain Abdullah. 8. Korda Sulawesi Utara di Manado, dengan Ketuanya Fais Albar. 9. Korda Bali dan NTB di Denpasar, dengan Ketuanya Moh. Hafizni.
Beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain pelatihan Jurnalisme Pemilu dan Sidang Umum MPR 1999 serta pelatihan Video Editor. Untuk Pelatihan jurnalisme Pemilu, pesertanya tidak hanya dari Jurnalisme televisi, tetapi juga dari radio dan media cetak.
Tuntutan pembentukan Korda nampaknya terus berdatangan dari insan jurnalis televisi di luar daerah tersebut. Apalagi jumlah anggota saat itu sudah tercatat 800 orang (tahun 2001 ini tercatat 1.105 orang). Tuntutan itu datang dari sejumlah jurnalis Televisi dari daerah Yokyakarta, Lampung dan Aceh, namun tuntutan itu belum terlaksana karena IJTI ingin melihat perkembangan Korda yang ada, dan setelah dievaluasi akan ditingkatkan statusnya menjadi cabang jika Kongres II IJTI mengamanatkanya.
Sejalan dengan pengembangan organisasi itu pula, untuk pertamakalinya pada tahun 1999 diadakan IJTI Award, yakni penghargaan tertinggi dari IJTI untuk insan Jurnalis televisi terhadap karya jurnalistik anggota IJTI dan Program Berita terbaik televisi. IJTI Award juga diberikan kepada mereka yang berjasa dibidang pertelevesian. IJTI Award untuk yang kedua kalinya diselenggarakan pada tahun 2000.
Sebagai organisasi yang baru menapak untuk bangkit mencari bentuk, sejumlah kegiatan baik yang berupa peningkatan profesi jurnalisme anggota maupun kesejahteraan advokasi, memang belum terasakan oleh seluruh anggota. Misalnya asuransi kecelakaan baru diperuntukkan bagi 200 anggota peliput Pemilu dan Sidang Umum, serta perlindungan wartawan baru melalui rompi berkop IJTI.
Sementara pemberian advokasi bagi jurnalis yang terkena tindakan kekerasan baru sebatas mencari fakta dan sebatas mengadukan kepolisi dan pimpinan militer. Misalnya dalam kasus "Penonjokan" wartawan oleh Gubernur Jawa Timur, pemukulan kameramen RCTI M. Ali Raban oleh oknum TNI di Aceh, penganiyaan reporter ANTV Gunawan Kusmantoro oleh Oknum kader Golkar di Slipi Jakarta, pengeroyokan wartawan di Sijunjung Sumatera Barat, dan sejumlah kasus lain yang menyusul berikutnya.
Sementara terhadap perkembangan regulasi dibidang pers dan penyiaran, IJTI baru berpartisipasi sebagai penyumbang ide dan sikap dalam RUU Pers maupun RUU Penyiaran, yang intinya adalah jaminan kemerdekaan pers, perlindungan Wartawan dan mencegah agar masalah kinerja jurnalisme televisi tidak diatur oleh Undang-Undang melainkan dikembalikan kepada Kode Etik Jurnalistik. IJTI juga mendesak kepada perusaan pers agar pemberian kesejahteraan berdasarkan standar kompetensi minimum pekerja pers. Sayangnya standar kompetensi yang dimaksud selama ini baru sebuah gagasan yang belum terumuskan.
IJTI sebagai salah satu dari anggota 26 organisasi wartawan juga turut merumuskan Kode Etik Wartawan Indonesia tahun 1999. Tahun 2000, IJTI mempelopori terbentuknya Komisi Nasional Penyiaran (Komnas Penyiaran), serta pembentukan Kelompok Kerja yang mempunyai tugas mempersiapkan terbentuk dan berfungsinya Komnas Penyiaran.
Pembentukan Komisi Nasional Penyiaran ini dideklarasikan usai Seminar dan Lokakarya "Menyoal Kebijakan Lembaga Penyiaran" di Hotel Santika pada tanggal 18 April 2000 dan ditandatangani oleh wakil-wakil dari 12 organisasi dan masyarakat penyiaran. Deklarasi ini lebih merupakan desakan agar pengelolaan frekwensi yang menjadi nafas dari penyiaran dan merupakan ranah publik itu harus dikelola secara transparan oleh lembaga independen.
Persiapan Kongres II Kepengurusan IJTI periode 1998-2001 mestinya berakhir bulan Agustus 2001, tetapi karena banyak pengurus tidak aktif, lagi pula banyak kegiatan yang menyita perhatian publik khususnya dibidang politik dimana insan jurnalis harus menjalankan tugasnya (seperti Sidang Istimewa MPR), maka Kongres pun ditunda.
Pengurus IJTI telah menunjuk Teguh Juwarno (Wakil Sekjen) sebagai Ketua Panitia Pengarah Kongres dan Syaeifurrahman Al-Banjary (Ketua Departeman Organisasi) dan Asroru Maula (Litbang) masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Panitia Pelaksana, baru menjalankan tugasnya bulan September 2001. Kepanitiaan pun dilengkapi sambil jalan, dengan menyiapkan berbagai rancangan Kongres yang hendak diputuskan.
Pelaksanaan Kongres II Pada tanggal 26-27 Oktober 2001, Kongres II dilaksanakan di Hotel Santika Jakarta, didahului Seminar bertajuk "Mengkaji Ulang Posisi Pers dalam Konteks Kepentingan Nasional". Dalam Kongres ini juga digelar debat Publik "Menyoal Kebijakan Pemerintah dalam Menjamin Kebebasan Pers dan Penyiaran" bersama Menteri Negara Informasi dan Komunikasi Syamsul Muarif. Inilah Kongres yang untuk pertama kali diikuti peserta dari utusan Korda, selain anggota dari Jakarta.
Kongres II yang dilaksanakan di Hotel Santika Jakarta tersebut pada akhirnya yang terpilih sebagai Ketua Umum/Formatur adalah : 1. Ray Wijaya : Ketua Umum/Formatur. 2. Syaefurrahman Al-Banjary : Anggota Formatur 3. Asroru Maula : Anggota Formatur 4. Elprisdad : Anggota Formatur 5. Tiur Maida Tampubolon : Anggota Formatur
Dan setelah melalui rapat formatur, ketua umum dan anggota formatur pada tanggal 2 November dan 19 November 2001 di Jakarta, pada akhirnya mengesahkan susunan Pengurus IJTI Periode 2001-2004 dibawah kepemimpinan saudara Ray Wijaya dan Saudara Syaifurrahman Al-Banjary, masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dengan susunan pengurus sebagaimana berikut:
1. Ketua Umum : Ray Wijaya (RCTI) 2. Sekretaris Jenderal : Syaefurrahman Al-Banjary (ANTV) 3. Wakil Sekretaris Jenderal : Ahmad Setiono (RCTI) 4. Bendahara : Tiurmaida Tampubolon (TPI) 5. Wakil Bendahara : Shanta Curanggana (TRANS TV) 6. Ketua Bidang Organisasi : Eric Tamalagi (TPI) 7. Ketua Bidang Advokasi & Kesejahteraan : Elprisdad (ANTV) 8. Ketua Bidang Diklat dan Litbang : Asroru Maula 9.Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri : Rizal Yussac (TV 7)
PENCAPAIAN PROGRAM PERIODE 2001-2004
Salah satu yang menonjol program kerja pada periode ini adalah di bidang peran organisasi dalam bidang pembangunan pers dan penyiaran nasional. Pengurus IJTI selalu aktif dalam memberikan masukan terhadap RUU Penyiaran dan terlibat dalam pembahasan di dalamnya sebagai peserta pasif ketika DPR dan Pemerintah membahasnya.
IJTI dengan caranya sendiri, misalnya melakukan lobi-lobi dengan anggota dewan menyamakan pendapatnya. Juga dalam forum terbuka yang diselenggarakan oleh Kementrian Informasi dan Komunikasi di Jalan Merdeka Barat.
Dalam kesempatan itu utusan IJTI Syaefurrahman secara tegas menolak pasal-pasal pidana dalam RUU Penyiaran karena akan menghambat kegiatan jurnalisme dan menjadi ancaman. Usulannya adalah memasukan aturan itu pada kode etik profesi saja.
Kriminalisasi terhadap aturan etika profesi sudah tidak zamannya masuk dalam Undang-undang. Namun soal ini akhirnya gagal dicegah masuk UU, sehingga IJTI dan sejumlah organisasi lainnya mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Organisasi itu adalah ATVSI, PRSSNI, PPPI, Persusi, dan Komteve. Hasilnya dalah majelis hakim mengabulkan sebagian gugatan khusunya mengenai kewenangan pemerintah dalam membuat peraturan pelaksana UU Penyiaran.
Kalau tadinya yang berhak membuat PP adalah Pemerintah bersama KPI, sekarang menjadi hanya pemerintah saja. Keputusan ini sesungguhnya diluar dugaan IJTI. Upaya menghapus kriminalisasi kode etik, gagal sehingga hal ini terus diperjuangkan di masa-masa mendatang, agar kebebasan pers dapat ditegakkan. Peran lainnya dalah memberikan masukan kepada DPR tentang UU Kebebasan memperoleh Informasi.
Demikian juga sejumlah pernyataan pers mengenai kebijakan penyiaran dan soal-soal kekerasan terhadap jurnalis televisi. Dalam kaitannya dengan Pemilu, IJTI berhasil mengumpulkan sejumlah organisasi untuk bersama-sama membentuk forum atau koalisi yang menyerukan pemilu jurdil dan bebas dari kekerasan. Termasuk kekerasan terhadap jurnalis.
Pada periode ini juga IJTI yang mengkoordinir Koalisi Anti Kekerasan terhadap Wartawan dengan anggota dari AJI, PBHI, Kontras, PWI Reformasi, IMPLC, Media Watch, PFI dan SEAPA, berhasil mendesakkan perlunya komisi yang menangani kekerasan terhadap wartawan di Komnas HAM. Ini belajar dari kasus penyanderaan terhadap Ersa Siregar dan Ferry Santoro, serta kekerasan lain yang menimpa wartawan baik oleh oknum maupun dilakukan aparat keamanan dan TNI.
Kegiatan lain yang cukup menonjol adalah peluncuran VCD Bom Bali dan buku Bom Bali. Ini merupakan peran IJTI terhadap perang melawan kekerasan. VCD dicetak 1000 buah, demikian juga buku bom Bali: Dari Legian ke Marriott. Ditulis oleh Syaefurrahman, Sodiqin Nursa dan Wahyu Widayat.
Persiapan Kongres III Kepengurusan IJTI Periode 2001-2004 mustinya berakhir pada bulan Nopember 2004, akan tetapi dikarenakan banyak pengurus yang tidak aktif, sehingga kongres tertunda beberapa kali. Lagi pula banyak kegiatan yang menyita pengurus di stasiun penyiarannya masing-masing seperti adanya musibah gempa dan tsunami di Aceh dan Nias yang merupakan musibah terbesar dinegeri ini, sangat menyita perhatian insan jurnalis.
Dewan Pengurus melalui rapat pleno menugaskan Aris Budiono (ANTV) sebagai panitia Kongres-3 bersama Atie Rochyati (Dept. Pemb. Anggota non aktif). Jauh sebelumnya persiapan telah dimulai oleh Sekjen Syaefurrahman Al-Banjary dengan menyusun materi kongres (draf) dibantu Saudara Farichin dan Budi Setiawan (staf di IJTI).
Dengan dibantu beberapa orang akhirnya Panitia Lengkap terbentuk, namun hanya beberapa saja yang aktif. Meski demikian Kongres tetap berhasil dilaksanakan di Hotel Twins Plaza Jalan S. Parman tanggal 21 – 22 Juli 2005.
Pelaksanaan Kongres Ke-3 Kongres ke-3 kali ini cukup meriah dibanding kongres ke-2. Ini karena telah didahului sosialisasi yang cukup ke beberapa stasiun televisi baru seperti Lativi (sekarang berganti nama menjadi TVone), Global TV dan televisi lama Indosiar. Ke Televisi lainnya sosialisasi dilakukan melalui selebaran yang memuat kegiatan seputar kongres dan bursa calon kandidat.
Sebelumnya, draf kongres juga telah dikirimkan ke stasiun televisi untuk dibahas, juga ke korda-korda di seluruh Indonesia. Tidak kurang dari 120 orang terlibat dalam kongres, meski pada akhir kongres (pemilihan ketua umum hanya 75 orang yang hadir dan berhak memberikan suaranya).
Peserta dari daerah antara lain Banjarmasin, Manado, Palembang, Medan, Palu, Ambon, Lombok, Bandung, dan Semarang. Kongres kali ini juga dihadiri peserta dari televisi lokal antara lain TA-TV Solo, Srijunjungan TV Jambi, dan lain-lain. Kongres diawali dengan Seminar tentang "Membangun Kebebasan Pers Tanpa Kekerasan dan Intervensi Kekuasaan" dengan nara sumber MM Billah dari Komnas HAM, Suryopratomo dari Kompas, Iskandar Siahaan (IJTI), dan Menkominfo yang menugaskan Dirjen Hubungan Media.
Kongres berhasil memutuskan sejumlah ketetapan : 1. AD/ART 2. Program Kerja 3. Kode Etik 4. Rekomendasi eksteren dan interen 5. Pengurus baru periode 2005-2009. 6. Dewan Etik berjumlah 7 orang.
Salah satu keputusan yang baru dalam kongres kali ini adalah masa kepengurusan yang tidak lagi 3 tahun tetapi 4 tahun dengan pertimbangan agar pengurus lebih fokus pada kegiatan, dan dirasa terlalu singkat jika masa kerjanya tiga tahun. Sementara rekomendasi interen yang sangat penting adalah akan dibentuknya badan hukum lembaga pengembangan profesi jurnalis televisi Indonesia, yang tugasnya melakukan pelatihan dan sertifikasi atau standarisasi profesi jurnalis televisi.
Dewan Pengurus terpilih masa kerja 2005 – 2009 adalah: 1. Ketua Umum : Imam Wahyudi (RCTI) 2. Sekretaris Jenderal : Elprisdat (ANTV) 3. Ketua Bidang Organisasi dan Kelembagaan : Makrun Sanjaya (Metro TV) 4. Ketua Bidang Diklat dan Litbang : Rizal Mustari (Trans TV) 5. Ketua Bidang Hubungan Internasional : Pipit Irianto (TVRI) 6. Ketua Bidang Advokasi dan Kesejahteraan : Pasaoran Simanjuntak (TV-7) 7. Bendahara : Aris Budiono (ANTV)
Dewan pengurus juga melengkapi kepengurusannya dengan wakil Sekjen dan Wakil Bendahara serta wakil-wakil ketua. Sesuai saran peserta kongres, kepengurusan kali ini juga akan dilengkapi dengan komisariat di masing-masing stasiun televisi untuk memudahkan koordinasi. Keputusan lainnya yang baru adalah diubahnya Korda menjadi Pengurus Daerah dengan pertimbangan agar pengurus daerah lebih otonom dan tidak hanya melakukan fungsi koordinasi. ***
KETETAPAN KONGRES IKATAN JURNALIS TELEVISI INDONESIA (IJTI) KE-3Nomor : 05/KONGRES-3/07/2005 Tentang KODE ETIK IKATAN JURNALIS TELEVISI INDONESIA
Kongres Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) ke-3, setelah :
MENIMBANG :
1. Bahwa untuk menegakkan martabat,integritas dan mutu Jurnalis, dipandang perlu adanya aturan yang mengikat anggota Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
2. Bahwa untuk itu dipandang perlu menetapkan Kode Etik Jurnalis Televisi Indonesia.
MENGINGAT :
1. Pasal 9,15 Anggaran Dasar IJTI.
2. Pasal 6 Anggaran Rumah Tangga IJTI
MEMPERHATIKAN : Hasil Pembahasan Sidang Pleno III Kongres IJTI ke-3 tanggal 22 Juli 2005.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
1. Kode Etik Jurnalis Televisi Indonesia
2. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 22 Juli 2005
Jam : 14.30WIB
PRESIDIUM SIDANG
- Imam Wahyudi (Ketua)
- Pasaoran Simanjuntak (Anggota)
- Hepran Mendayun (Anggota)
- Faiz Albar (Anggota)
Keterangan: Artikel ini dikutip dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, pada 8 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar