Irwan AR
(kanan) menerima hadiah buku kumpulan cerpen “Ibu, Gaib!” dari Ketum DPP IPMI
Muhammad Amir Jaya pada peringatan HUT ke-3 IPMI dan Diskusi Buku, di Kafebaca,
Jalan Adhyaksa, No 2, Makassar, Rabu, 24 Desember 2025. (Foto: Arwan Awing)
------
Ahad, 28 Desember
2025
Catatan
HUT Ke-3 IPMI dan Diskusi Buku Kumpulan Cerpen “Ibu” (3):
Cerpen yang Tidak Lazim
dan Nyentrik
Oleh:
Asnawin Aminuddin
Dalam
diskusi dua buku kumpulan cerpen “IBU” pada peringatan HUT ke-3 Ikatan Penulis
Muslim Indonesia (IPMI), di Kafebaca, Jalan Adhyaksa, No 2, Makassar, Rabu, 24
Desember 2025, Irwan AZ tidak memilih jalan aman dengan mengulas cerpen satu
per satu.
Penyair,
seniman dan wartawan ini justru mengajukan ukuran sederhana namun tegas tentang
cerpen yang baginya layak diingat: judul yang tidak lazim dan pembuka yang
langsung menggugah.
Dari sudut
pandang pengalaman panjangnya belajar menulis cerpen, termasuk mengirimkannya
ke harian Kompas, Irwan AZ menyoroti karya-karya yang berani keluar dari
kelaziman dan tidak terjebak pada judul-judul klise. Di situlah, menurutnya,
cerpen menemukan pintu masuk paling penting untuk mengikat pembaca sejak
kalimat pertama.
Ukuran
itu, menurut Irwan AZ, berangkat dari pengalamannya berulang kali mengirim
cerpen ke harian Kompas. Ia tidak menaruh harapan besar karyanya dimuat,
tetapi justru memperoleh pelajaran penting dari balasan redaksi.
Dari sana
ia memahami bahwa cerpen koran menuntut dua pintu masuk utama: judul yang
memancing rasa ingin tahu dan paragraf awal yang padat. Cerpen adalah fiksi
ringkas yang dibaca dalam waktu singkat, sehingga sejak kalimat pertama pembaca
harus sudah digiring masuk ke jantung persoalan.
Dengan
ukuran itulah ia membaca Kumpulan Cerpen “Ibu”. Ia mengakui banyak cerpen
terlewati karena judulnya terasa seragam dan cenderung klise, berkutat pada
kata “ibu” tanpa kejutan.
“Saya
banyak melewatkan cerpen-cerpen dalam buku ini karena judulnya nyaris seragam
dengan kata ‘IBU’ atau dengan frase kalimat yang menurutku klise dan tentu saja
tidak membuat saya tertarik,” ungkap Irwan.
Namun, ada
beberapa cerpen yang langsung menarik perhatiannya karena berani menyimpang
dari kelaziman. Tiga di antaranya adalah “Mau Kuracuni Suamiku” karya Asnawin
Aminuddin, “Ratmini” karya Andi Wanua Tangke, dan “Cerpen Ibu” karya Bahar
Merdhu.
Cerpen “Mau
Kuracuni Suamiku” karya Asnawin dinilainya paling menohok karena sejak judul
sudah memancing kegelisahan. Ia tidak bermain aman. Paragraf pembuka langsung
menghadirkan keinginan ekstrem seorang istri untuk meracuni suaminya, sekaligus
memperkenalkan tiga tokoh penting sejak awal cerita, yakni Yanti (istri),
Rahmat (suami), dan tokoh “ibu” yang namanya tidak ditulis dan tidak lain adalah
ibu dari Yanti.
Ketidaklaziman
semakin terasa ketika tokoh ibu justru tampak mendukung niat sang anak, sebelum
kemudian menghadirkan cara lain yang lebih halus dan bijak dalam memberi
nasihat. Bagi Irwan AZ, strategi ini membuat cerpen tersebut terhindar dari
klise dan menawarkan ketegangan yang hidup.
“Cerpen ‘Mau
Kuracuni Suamiku’ langsung dibuka dengan keresahan dan keinginan seorang istri
meracuni suaminya. Di awal kita sudah diperkenalkan tiga tokoh sekaligus.
Seorang istri, suami, dan ibu dari si istri. Berikutnya kita tahu bahwa ibu si
perempuan tersebut justru mendukung. Ini narasi yang tidak biasa dan justru itu
membuatnya tidak klise. Namun juga diketahui bahwa ibu itu punya cara yang lain
bagaimana menasehati anaknya tersebut dengan tidak langsung melakukan
konfrontasi atas keinginan anaknya yang ingin meracuni suaminya” tutur Irwan.
Nyentrik
Sementara
itu, “Cerpen Ibu” karya Bahar Merdhu ia sebut nyentrik. Latar belakang
penulisnya sebagai sutradara teater terasa kuat melalui penyusunan
adegan-adegan yang visual. Pembaca tidak diajak menafsir simbol-simbol rumit,
melainkan membayangkan peristiwa yang bergerak seperti di atas panggung.
Gaya
realisme yang meminjam kejadian sehari-hari, hingga hadir tokoh yang sekadar
menagih cerpen, menjadi strategi bercerita yang segar dan khas.
Ke-“main-main”-an inilah yang justru memberi daya hidup pada cerita.
“Sebagai
seorang sutradara teater, Bahar Merdhu membuat adegan-adegan. Yang membuat
pembaca bukan merenenungkan makna-makna dari kalimat-kalimat atau kata-kata
seorang cerpenis, tapi pembaca membayangkan suatu peristiwa atau adegan.
Seorang anak yang bergegas menemui ibunya namun banyak menemukan kendala yang
pada akhirnya ibu hanya menyampaikan bahwa seseorang bernama Amir mencarinya
karena menagih cerpen. Gaya realisme ini yang sekonyong-konyong meminjam
peristiwa sehari-hari yang ditempelkan ke adegan fiksi, itu khas strategi
bercerita seorang Bahar Merdhu,” tutur Irwan.
Dari dua
contoh tersebut, cerpen “Mau Kuracuni Suamiku” dan “Cerpen Ibu”, Irwan AZ
menegaskan bahwa cerpen yang baik tidak selalu harus mengusung gagasan besar.
Yang lebih
penting adalah keberanian keluar dari pola umum, kepiawaian memilih sudut
pandang, serta kecermatan membuka cerita. Ketika judul dan paragraf awal mampu
menggugah, cerpen telah memiliki separuh kekuatannya.
Terlalu
Lugas
Beranjak
ke kumpulan cerpen “Ibu, Gaib!”, Irwan AZ hanya menyoroti dua cerpen secara
singkat. Pertama, cerpen “Ibu, Gaib!” yang sekaligus menjadi judul buku. Cerpen
ini ia nilai sebagai kisah pengalaman spiritual tokoh aku, yang dapat disebut
sebagai mistisisme Islam.
Namun,
menurutnya, penggarapan cerita tersebut belum matang. Peristiwa hilangnya ibu
di atas sajadah digambarkan terlalu nyata dan terlalu lugas, padahal pengalaman
spiritual sejatinya sarat simbol dan melampaui nalar awam.
Selain
itu, dari judul dan paragraf pembuka, arah cerita sudah mudah ditebak dan tidak
mengalami pembelokan yang mengejutkan.
Hal serupa
ia sampaikan terhadap cerpen “Ustaz Maulanto”. Sejak awal, cerpen ini sudah
terkesan menyindir sosok seorang ustaz populer yang laris berceramah karena
kelucuannya. Tokoh ustaz langsung dihadirkan dalam impresi karikatural, dan
selebihnya berisi gambaran yang sudah umum diketahui khalayak.
“Sebuah cerpen atau karya sastra semestinya menawarkan pengetahuan baru. Tidak harus gagasan besar, tetapi setidaknya menghadirkan sudut pandang atau pencerahan wacana yang segar,” kata Irwan. (bersambung)
....
Tulisan Bagian 2: Kepompong dan Benang-benang Sutra dalam Cerpen “Ibu”

Tidak ada komentar:
Posting Komentar