Selasa, 27 April 2010

Komunikasi Politik ala Muhammadiyah



Komunikasi Politik ala Muhammadiyah

Oleh : Asnawin

(Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Satria, Makassar)

Opini Harian TRIBUN TIMUR, Makassar
http://www.tribun-timur.com/read/artikel/98999/Komunikasi-Politik-Ala-Muhammadiyah
Selasa, 27 April 2010

Gaya kepemimpinan dan gaya komunikasi politik para ketua umum Muhammadiyah saya sebut unik, karena selalu terpengaruh oleh situasi dan kondisi, serta banyak dipengaruhi oleh latar belakang pribadi masing-masing ketua umumnya. Inilah gaya komunikasi politik ala Muhammadiyah

Muhammadiyah identik dengan Din Syamsuddin, Syafii Maarif, Amien Rais, KH AR Fachruddin, dan KH Ahmad Dahlan. Mereka identik dengan Muhammadiyah karena mereka adalah orang yang sedang atau pernah menjabat ketua umum organisasi Islam terbesar di Indonesia itu.

Pimpinan tertinggi sebuah organisasi merupakan simbol. Mereka memersonifikasi keberhasilan atau kegagalan organisasi yang dipimpinnya. Maka sangat tidak mudah menjadi pimpinan tertinggi sebuah organisasi, apalagi organisasi besar seperti Muhammadiyah.

Seorang pimpinan organisasi harus mampu berpikir secara analitikal dan konseptual, mampu menjadi penengah bilamana terjadi perselisihan di internal organisasi, serta mampu membuat keputusan-keputusan sulit.

Di era reformasi dan alam demokrasi seperti sekarang ini, seorang pimpinan tertinggi organisasi juga merupakan diplomat dan politisi, karena mereka sewaktu-waktu mewakili secara resmi organisasi yang dipimpinnya pada pertemuan-pertemuan keorganisasian, bahkan tidak jarang mewakili sejumlah organisasi sejenis pada level yang lebih tinggi, misalnya mewakili organisasi keagamaan Indonesia pada pertemuan internasional.

Para pimpinan organisasi juga harus mampu membangun komunikasi yang baik, serta membentuk aliansi-aliansi atau koalisi-koalisi bila diperlukan demi mencapai tujuan organisasi, dan itu adalah kerja politik.

Maka kalau Din Syamsuddin, Syafii Maarif, dan Amien Rais (yang kebetulan ketiganya adalah profesor) banyak melakukan kerja-kerja politik, itu hanya sebuah konsekuensi dari tugas berat yang diembannya sebagai ketua umum Muhammadiyah.

Amien Rais yang dijuluki tokoh reformasi (bersama sejumlah kalangan) bahkan mendirikan partai politik (Partai Amanat Nasional) dan kemudian terpilih menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, demi membesarkan organisasi yang dipimpinnya.

Selain demi mencapai tujuan organisasi, ketiga tokoh tersebut juga pasti sadar sesadar-sadarnya bahwa Muhammadiyah tidak mungkin dipisahkan dari politik, karena kader dan simpatisan Muhammadiyah, sebagaimana manusia pada umumnya, adalah makhluk politik.

Din Syamsuddin, Syafii Maarif, dan Amien Rais juga tahu bahwa Muhammadiyah didirikan untuk menjawab tantangan dan dinamika dakwah dan sosial politik. Jika aspirasi politik kader dan simpatisan Muhammadiyah tidak tersalurkan secara baik pada jalur sistem komunikasi politik yang konvensional (sebagaimana diatur dalam Undang-undang) justru dapat membahayakan sistem politik Indonesia secara keseluruhan.

Dengan demikian, interrelasi atau keterlibatan Muhammadiyah dengan dinamika politik adalah sebuah keharusan. Masalahnya kemudian adalah seberapa jauh dan bagaimana sebaiknya bentuk keterlibatan itu?

Bagaimana sebaiknya hubungan Muhammadiyah dengan partai politik? Apakah Muhammadiyah harus mendirikan parpol? Apakah Muhammadiyah perlu mendukung salah satu parpol? Apakah Muhammadiyah tidak sebaiknya menjaga jarak yang sama dengan semua parpol?

Tergantung Sikon

Kemampuan bertahan hidup selama hampir satu abad (didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1 November 1912 Masehi / 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah) dan kebesaran Muhammadiyah, tidak terlepas dari kemampuan personal para ketua umumnya dalam melakukan komunikasi politik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Dalam ilmu komunikasi disebutkan bahwa komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara "yang memerintah" dan "yang diperintah."

Ketua umum Muhammadiyah bisa disebut aktor politik, karena mereka pasti melakukan kerja-kerja politik dan melakukan komunikasi politik dengan berbagai elemen, terutama dengan pemerintah (eksekutif) dan legislatif.

Melihat kiprah dan perjalanan panjang Muhammadiyah di pentas politik dan pemerintahan, maka sesungguhnya Muhammadiyah memiliki gaya yang `'unik'' dalam melakukan komunikasi politik, yang diperankan oleh ketua umumnya sejak berdiri sampai sekarang.

Seorang ketua umum organisasi sebagai pemimpin memiliki wewenang dan kekuasaan untuk bisa melaksanakan tugasnya. Berdasarkan wewenang itulah ketua umum organisasi akan membimbing, menggerakkan, dan mengarahkan mereka yang dipimpinnya menuju tujuan bersama. Cara menggunakan wewenang dapat berbeda-beda dari satu pemimpin ke pemimpin yang lain. Perbedaan cara penggunaan wewenang ini dapat menciptakan gaya kepemimpinan dan gaya komunikasi yang berbeda-beda.

Gaya Unik

Gaya kepemimpinan dan gaya komunikasi politik para ketua umum Muhammadiyah saya sebut unik, karena selalu terpengaruh oleh situasi dan kondisi, serta banyak dipengaruhi oleh latar belakang pribadi masing-masing ketua umumnya. Inilah gaya komunikasi politik ala Muhammadiyah.

KH Ahmad Dahlan (1912-1923), KH Ibrahim (1923-1932), dan KH Hisyam (1932-1936) adalah kiyai dan ulama tulen, sehingga gaya kepemimpinan dan gaya komunikasi politik mereka sangat santun, serta cenderung memilih `'bekerja-sama'' dan `'mengalah untuk menang.''

KH Mas Mansur (1936-1942) dan Ki Bagoes Hadikoesoemo (1942-1953) secara cerdas memainkan peran komunikasi politik dalam upaya memerdekakan Indonesia dari penjajahan. KH Mas Mansur termasuk dalam empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansur.

Ki Bagoes Hadikoesoemo kemudian menggantikan kedudukan KH Mas Mansur sebagai empat serangkai bersama Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara. Ki Bagoes termasuk dalam anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau (PPKI).

Buya AR Sutan Masur (1953-1959) yang pernah menjadi pengurus Partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) dan juga pernah diangkat sebagai Tsuo Sangi Kai dan Tsuo Sangi In (semacam DPR dan DPRD) oleh pemerintah kolonial Jepang, tidak terlalu banyak melakukan komunikasi politik dengan pemerintahan Soekarno, karena ia membenci Partai Komunis Indonesia (PKI) dan tidak senang dengan kediktatoran Soekarno.

KH M Yunus Anis (1959-1962) terpilih sebagai ketua umum Muhammadiyah ketika Masyumi dibubarkan yang membawa implikasi buruk terhadap umat Islam, karena umat Islam nyaris tidak terwakili di parlemen saat itu (DPRGR). Dalam kondisi seperti itu, beliau kemudian menerima permintaan beberapa orang untuk menjadi anggota DPRGR demi untuk kepentingan jangka panjang, yaitu mewakili umat Islam yang nyaris tidak terwakili dalam parlemen saat itu.

KH Ahmad Badawi (1962-1968) 'menerima warisan situasi dan kondisi yang kurang bagus pascapembubaran Masyumi, serta di saat Muhammadiyah berhadapan dengan kuatnya tekanan politik masa Orde Lama. Menghadapi realitas politik seperti itu, Muhammadiyah akhirnya dipaksa berhadapan dengan urusan-urusan politik praktis, serta terlibat dalam urusan-urusan kenegaraan. KH Ahmad Badawi kemudian dekat dengan Presiden Soekarno dan diangkat menjadi menjadi Penasehat Pribadi Presiden di bidang agama.

KH Faqih Usman (1968-1971) hanya beberapa hari menjabat ketua umum Muhammadiyah sebelum beliau meninggal dunia pada 3 Oktober 1968.

KH AR Fakhruddin (1971-1990) membuat Muhammadiyah menjadi teduh dan di tangannya Islam terasa sangat mudah dan toleran. Beliau secara halus dan sopan tidak menerima setiap ditawari menjadi anggota DPR RI atau jabatan lainnya di pemerintahan Orde Baru.

Prof Dr KH Ahmad Azhar Basyir (1990-1995) hanya beberapa tahun memimpin Muhammadiyah karena meninggal dunia, sehingga tidak banyak yang bisa dibahas mengenai gaya kepemimpinannya, kecuali bahwa beliau seorang akademisi dan sekaligus ulama.

Prof Dr HM Amien Rais (1995-2000) memimpin Muhammadiyah di saat masyarakat menghendaki adanya perubahan besar pada pemerintahan. Isu reformasi atau pergantian pemerintahan yang diusung Amien Rais bersama mahasiswa dan hampir seluruh elemen masyarakat, akhirnya berhasil memaksa Soerhato meletakkan jabatan yang sekaligus menandai berakhirnya rezim pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 30 tahun.

Prof Dr H Ahmad Syafi'i Ma'arif (2000-2005) dan Prof Dr Din Syamsuddin (2005-2010) sebagaimana ditulis pada bagian awal tulisan ini banyak melakukan kerja-kerja politik selama memimpin Muhammadiyah.

Terlepas dari keunikan gaya komunikasi politik Muhammadiyah, demi menjaga hubungan yang baik dengan pemerintah dan berbagai elemen masyarakat, demi nama dan citra yang baik, Muhammadiyah bersama ketua umumnya sebaiknya tidak lagi terlibat dalam dukung mendukung calon presiden.

Muhammadiyah dan ketua umumnya juga sebaiknya menjaga jarak yang sama dengan semua parpol. Janganlah ada parpol yang seolah-olah diistimewakan. Janganlah lagi merestui pendirian parpol baru yang memakai simbol-simbol Muhammadiyah.***

Selasa, 13 April 2010

Golkar Sulsel di Tangan Syahrul


Harian Fajar
Rubrik Opini (Halaman 4)
Senin, 11 Januari 2010

Golkar Sulsel di Tangan Syahrul

Oleh: Asnawin
(Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Satria Makassar)

Perilaku organisasi kadang-kadang dituduh telah menjadi alat ilmiah bagi pihak yang berkuasa. Terlepas dari tuduhan-tuduhan itu, perilaku organisasi dapat memainkan peranan penting dalam perkembangan organisasi dan keberhasilan kerja orang-orang yang berkecimpung di dalamnya.

Seperti manusia, organisasi juga punya nama, punya tubuh (struktur), punya sifat, punya karakter, dan punya perilaku. Organisasi juga dipengaruhi oleh iklim dan lingkungan. Kemampuan beradaptasi dengan iklim dan lingkungan memungkinkan organisasi mampu bertahan hidup dan berusia panjang.

Salah satu jenis organisasi yang paling banyak dibicarakan orang dan sangat besar pengaruhnya dalam pemerintahan dan kemasyarakatan adalah organisasi partai politik. Iklim dan lingkungan perpolitikan di Indonesia yang sangat tidak menentu, telah membuat banyak organisasi partai politik yang gagal mempertahankan hidupnya, sehingga mati dan hilang dari peredaran. Ada juga partai politik yang "hidup segan mati tak mau."

Iklim Pemilu 2009 misalnya, telah menumbangkan puluhan organisasi partai politik (parpol) sehingga kini hanya sembilan parpol yang mampu bertahan hidup di level nasional. Salah satu parpol yang mampu beraklimatisasi dengan Pemilu 2009 adalah Partai Golkar.

Kemampuan Partai Golkar beraklimatisasi, bertahan hidup, dan bahkan menjadi organisasi parpol yang menonjol di antara organisasi sejenis di Indonesia, tidak terlepas dari nama, tubuh (struktur), sifat, karakter, dan perilakunya selama ini.

Partai Golkar Sulawesi Selatan adalah salah satu contoh yang sangat bagus untuk dijadikan bahan diskusi dan bahan penelitian tentang bagaimana sebuah organisasi parpol mampu bertahan hidup dan menjadi terkemuka di antara organisasi sejenis di daerah ini.

Tulisan ini tidak akan membahas sejarah dan perkembangan partai berlambang pohon beringin rindang itu di Sulawesi Selatan, tetapi mencoba melihat bagaimana perilaku Partai Golkar Sulsel sebagai sebuah organisasi parpol di bawah "kendali" Syahrul Yasin Limpo, serta sedikit gambaran tentang sosok Syahrul Yasin Limpo sebagai birokrat dan sebagai organisatoris.

Pada Musda Partai Golkar Sulsel pertengahan November 2009, Syahrul Yasin Limpo yang tidak lain Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan itu, terpilih sebagai ketua DPD I Partai Golkar Sulsel periode 2009-2015 melalui cara musawarah untuk mufakat.

Musyawarah untuk mufakat adalah salah satu perilaku dalam sebuah organisasi (organization behavior). Orang yang berkecimpung di organisasi parpol sangat memahami bahwa setiap kali orang berinteraksi dalam organisasi maka banyak faktor yang ikut bermain di dalamnya.

Setelah terpilih menjadi ketua, Syahrul Yasin Limpo bersama beberapa formatur kemudian menyusun struktur kepengurusan serta memilih orang-orang yang dianggap pantas dan mampu bekerja sama dengan baik dalam mengurus dan membesarkan Partai Golkar Sulsel.

Penyusunan struktur dan pemilihan pengurus sebuah organisasi parpol juga menggambarkan perilaku organisasi. Struktur kepengurusan Partai Golkar Sulsel tidak terlepas dari tindakan-tindakan ketua, formatur, dan pengurus lainnya. Merekalah yang menciptakan struktur, memutuskan, dan juga berkewajiban memeliharanya sehingga Partai Golkar Sulsel dapat tetap eksis ke depan.

Sebagai sebuah perilaku, penyusunan struktur dan pemilihan orang-orang yang duduk dalam struktur tersebut tentu tidak semua orang senang dan bisa menerimanya. Bentuk penolakan itu dapat dilihat dari reaksi internal dan eksternal.

Salah satu reaksi tersebut adalah pengumuman pengunduran diri Ilham Arief Sirajuddin dari kepengurusan Partai Golkar Sulsel. Ilham Arief Sirajuddin adalah ketua umum pengganti antar-waktu Partai Golkar Sulsel selama beberapa bulan di tahun 2009 dan juga satu-satunya pesaing Syahrul Yasin Limpo pada Musda partai tersebut November 2009.

Bukan Manusia Standar

Terpilihnya Syahrul Yasin Limpo sebagai ketua melalui cara musyawarah untuk mufakat, bagaimana struktur kepengurusan saat ini, dan siapa-siapa saja yang duduk dalam struktur tersebut, barulah langkah awal dari berbagai kemungkinan perilaku Partai Golkar Sulsel ke depan. Kita masih akan menunggu bagaimana perilaku Partai Golkar Sulsel di tangan Syahrul dalam menghadapi berbagai situasi dan kondisi perpolitikan di daerah ini dan secara nasional.

Kita masih akan melihat bagaimana perilaku Partai Golkar Sulsel dalam menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada) di sejumlah kabupaten se-Sulawesi Selatan pada tahun 2010 dan pada berbagai agenda politik lima tahun ke depan.

Sebagai seorang mantan bupati dan sebagai Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan yang tengah berkuasa, Syahrul tentu memiliki banyak pengalaman dan juga memiliki kekuatan (power) dalam upaya mencapai tujuan dan berbagai agenda organisasi Partai Golkar Sulsel ke depan.

Dalam berbagai kesempatan, Syahrul menggambarkan dirinya sebagai orang yang mementingkan disain (by design) dan perencanaan (planning). Syahrul tidak suka mengikuti air yang mengalir dan sangat menghindari kecelakaan, termasuk kecelakaan politik.

Pria kelahiran 16 Maret 1955 itu bahkan selalu membuat beberapa perencanaan untuk setiap tujuan yang ingin dicapai. Jika rencana A gagal, maka Syahrul sudah siap dengan rencana B, dan seterusnya. Mungkin itulah yang membuat kariernya terus menanjak, baik di pemerintahan maupun di berbagai organisasi.

Dengan berbagai keberhasilannya di birokrasi dan di organisasi, maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Syahrul Yasin Limpo bukanlah manusia standar. Dia berada di atas standar atau di atas rata-rata orang Sulawesi Selatan pada umumnya dalam bidang yang digelutinya.

Perilaku Partai Golkar Sulsel dalam menyikapi berbagai situasi dan kondisi untuk menyukseskan program-program organisasi dan agenda yang telah disusun, termasuk situasi dan kondisi yang di luar perkiraan, tentu banyak dipengaruhi oleh Syahrul Yasin Limpo sebagai ketua umum. Syahrul pasti tidak sendirian dalam mengurus dan membesarkan Partai Golkar Sulsel. Di sana banyak individu dan juga ada faksi atau kelompok-kelompok. Bagaimana perilaku individu-individu dan faksi-faksi tersebut, sangat memengaruhi perilaku organisasi Partai Golkar Sulsel ke depan.

Di sinilah kelak akan dilihat bagaimana kemampuan Syahrul dalam memimpin Partai Golkar Sulsel, dalam melakukan komunikasi internal, dalam berkomunikasi dengan petinggi parpol lainnya, serta dalam mengatur perilaku organisasi partai politik yang dipimpinnya.

Satu hal yang tidak diharapkan yaitu jika perilaku Partai Golkar Sulsel ke depan akhirnya mendapat resistensi yang besar dari masyarakat, karena lebih mementingkan tujuan pribadi (para pengurusnya) dan kelompok, bukan mendahulukan kepentingan masyarakat.

Selamat atas pelantikan ketua dan pengurus Partai Golkar Sulsel, semoga masyarakat Sulsel mendapatkan manfaat dan memberi apresiasi positif atas perilaku organisasi partai ini ke depan. (**)

Kasus Prita; Membeli Pisang Epe dengan Dolar



Harian Fajar
Rubrik Opini (Halaman 4)
Rabu, 30 Desember 2009

Kasus Prita; Membeli Pisang Epe' dengan Dolar

Oleh: Asnawin
(Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Satria)

Ada tujuh unsur dalam komunikasi, yakni komunikator (orang yang mengirim pesan), pesan, media atau sarana, komunikan (orang yang menerima pesan), efek, umpan balik, serta lingkungan.

Komunikasi baru dikatakan mengena atau berhasil kalau pesan yang ingin disampaikan oleh seseorang (komunikator) benar-benar sampai kepada orang yang dikirimi pesan (komunikan), apalagi kalau pesan tersebut memberi efek atau berdampak dan kemudian mendapat umpan balik dari komunikan.

Di Indonesia, negara kita tercinta, tampaknya banyak komunikasi yang tidak mengena atau tidak berhasil, karena banyak komunikator (kata yang bersepupu dengan provokator) yang mengirim pesan kepada komunikan yang salah dan di lingkungan yang salah.

Mahasiswa misalnya. Mereka sering melakukan aksi unjukrasa dengan maksud ingin menyampaikan pesan kepada penguasa, bahwa mereka kecewa, marah, atau tidak setuju terhadap sesuatu yang dilakukan atau diputuskan oleh penguasa.

Sayangnya, aksi unjukrasa tersebut dilakukan di jalan raya pada saat arus lalu lintas sedang padat. Artinya, pesannya justru disampaikan kepada masyarakat yang kebetulan lewat di jalan raya tersebut.

Akibatnya, masyarakat menjadi terganggu aktivitasnya dan kadang-kadang masyarakat memberikan reaksi, sehingga terjadilah keributan antara mahasiswa dengan masyarakat.
Pada saat yang sama, penguasa mungkin sedang sibuk melaksanakan tugas-tugasnya dan sama sekali tidak tahu dengan adanya aksi unjukrasa mahasiswa.

Kalau pun ada wartawan yang meliput aksi unjukrasa tersebut dan disiarkan oleh media massa, belum tentu penguasa mendengarnya lewat radio, menyaksikan siarannya di televisi, dan atau membaca beritanya di media cetak. Mungkin juga penguasa tidak peduli dan tidak akan memberikan reaksi apa-apa.

Dalam beberapa kasus lain, justru banyak orang atau pihak yang memberikan umpan balik atau reaksi atas pesan yang sebenarnya bukan ditujukan untuk mereka.

Contoh kasus yang masih hangat yaitu reaksi yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit Omni International (di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten), atas uneg-uneg atau pesan yang disampaikan oleh Prita Mulyasari kepada sejumlah orang di sebuah grup milis.

Prita Mulyasari menulis uneg-unegnya lewat milis (grup email) tentang pelayanan yang diterima saat dirawat di rumah sakit Omni International. Artinya uneg-uneg atau pesan tersebut ditujukan kepada sejumlah orang yang bergabung di grup milis yang sama dan bukan ditujukan kepada pihak Rumah Sakit Omni International.

Anehnya, pihak Rumah Sakit Omni International memberikan reaksi yang berlebihan dengan melaporkan Prita kepada pihak berwajib. Lebih aneh lagi, karena pihak berwajib kemudian memproses laporan tersebut yang berbuntut penahanan dan denda ratusan juta rupiah kepada Prita.

Pihak Rumah Sakit Omni International mungkin ingin memberikan pelajaran atau efek jera kepada Prita, tetapi yang terjadi kemudian adalah masyarakat Indonesia dari berbagai penjuru tanah air membela dan bahkan memberi bantuan kepada Prita, dengan cara mengumpulkan uang koin rupiah untuk membayar denda yang dijatuhkan pengadilan kepada Prita.

Pengumpulan koin tersebut secara tidak langsung merupakan ejekan dan penghinaan kepada pihak Rumah Sakit Omni International dan pihak pengadilan yang menjatuhkan hukuman kepada Prita.

Mata Uang

Pihak Rumah Sakit Omni International mungkin lupa atau tidak tahu bahwa setiap negara ada mata uangnya masing-masing.

Grup milis itu dapat diibaratkan sebagai sebuah negara. Grup milis adalah sebuah komunitas pengguna email. Kelompok arisan keluarga atau kelompok arisan ibu-ibu rumah tangga dalam sebuah kompleks perumahan, juga sebuah komunitas.

Sebagai sebuah negara, sebagai sebuah komunitas, grup milis dan kelompok arisan ibu-ibu tentu punya mata uang masing-masing. Punya aturan dan cara bermain masing-masing.

Apa yang terjadi atau apa yang diperbincangkan di komunitas sebuah grup milis atau di sebuah komunitas arisan ibu-ibu, tidak perlu dicampuri atau ditanggapi oleh orang luar. Sekali pun perbincangan itu menyangkut orang luar.

Kalau ada orang luar yang masuk lalu memberikan reaksi atas perbincangan yang terjadi di grup milis atau di kelompok arisan ibu-ibu, maka itu berarti orang luar tersebut secara tidak langsung telah membeli pisang epe’ (makanan khas Sulawesi Selatan) di Kota Makassar dengan menggunakan uang dolar Amerika Serikat.

Penjual pisang epe’ atau orang Makassar pasti akan heran, tertawa, dan atau marah kalau ada orang Amerika Serikat yang membeli pisang epe’ dengan uang dolar. Mungkin akan sama heran, tawa, dan atau marahnya orang Italia kalau ada orang Indonesia yang membeli pizza di Kota Roma dengan uang rupiah.

Begitulah yang terjadi dalam kasus Prita Mulyasari. Banyak orang yang heran, tertawa, dan atau marah kepada pihak Omni International, karena menganggap pihak Omni International telah salah alamat dan keterlaluan.

Salah alamat karena memberikan reaksi terhadap pesan yang bukan ditujukan untuk mereka, dan keterlaluan karena memaksakan membeli pisang epe’ di Pantai Losari Makassar dengan menggunakan uang dolar Amerika Serikat.

Selamat tahun baru 2010. Semoga tidak banyak lagi komunikator yang memberikan pesan kepada komunikan yang salah di lingkungan yang salah seperti banyak terjadi pada tahun 2009.

Semoga tidak ada lagi orang atau pihak yang memberikan umpan balik atau reaksi atas pesan yang sebenarnya bukan ditujukan untuk mereka, seperti yang terjadi pada kasus Prita Mulyasari pada tahun 2009. ***

Evasi Komunikasi Susno - Polri



Evasi Komunikasi Susno – Polri

Oleh: Asnawin
(Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Satria Makassar)


Hubungan batin antara orangtua dan anak tentu sulit dipisahkan, apalagi kalau sang anak sudah dirawat, dididik, dan dibesarkan selama 33 tahun. Kalau sang anak kemudian melawan orangtuanya dan bahkan menjelek-jelekkan orangtuanya di depan orang banyak, maka durhakalah sang anak tersebut.

Mungkin tidak salah kalau Susno Duadji dianggap sebagai anak dan Polri adalah orangtuanya, karena Komjen Pol Susno Duadji memang sudah 33 tahun mendapat didikan dan pembinaan di institusi Polri. Tetapi kalau Susno disebut sebagai anak durhaka karena melawan Polri sebagai orangtuanya, mungkin bisa menjadi diskusi panjang. Yang perlu dipertanyakan, mengapa sampai Susno ‘’melawan’’ dan bahkan ‘’menjelek-jelekkan’’ nama baik Polri. Mengapa ‘’hubungan batin’’ atau komunikasi yang sudah terjalin baik selama puluhan tahun bisa rusak?

Dalam ilmu komunikasi disebutkan bahwa ada banyak hambatan yang bisa merusak komunikasi, antara lain gangguan (noise), kepentingan (interest), motivasi terpendam (latent motivation), dan prasangka (prejudice).

Hambatan komunikasi tersebut secara umum dibagi atas dua sifat, yakni objektif dan subjektif. Hambatan yang sifatnya objektif adalah gangguan dan halangan jalannya komunikasi yang tidak sengaja dibuat oleh pihak lain, tapi mungkin karena faktor cuaca atau caranya yang salah. Sebaliknya, hambatan yang bersifat subjektif adalah gangguan atau halangan yang memang sengaja dibuat oleh orang lain, karena faktor kepentingan, tamak, iri hati, dan lain-lain.

Kalau ada orang yang merasa terganggu kepentingannya, dirusak nama baiknya, maka biasanya ia akan memberikan reaksi dengan cara menghindari komunikasi dengan pihak yang mengganggu kepentingannya atau merusak nama baiknya. Jika sudah tidak bisa menghindar atau apabila sudah tidak bisa menahan diri, maka ia bisa mencemoohkan, menyesatkan, atau mencacatkan komunikasi. Gejala menyesatkan pengertian, mencacatkan pesan komunikasi, dan mengubah kerangka referensi (changing frame of reference) ini dalam ilmu komunikasi disebut evasi komunikasi (evasion communication).

Apakah Susno Duadji telah melakukan evasi komunikasi terhadap Polri? Jika melihat sepak terjangnya sejak dilengserkan secara resmi dari jabatannya selaku Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri pada 30 November 2009, Susno tampaknya telah menghindari komunikasi dengan institusinya.

Pada Kamis, 7 Januari 2010, Susno tampil menjadi saksi di sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dengan membeberkan kesaksian yang meringankan Antasari Azhar, mantan Ketua KPK, yang dilengserkan setelah didakwa sebagai otak pembunuhan berencana Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Ia tampil dengan pakaian uniform polisi, tetapi tanpa izin dari pimpinan institusinya.

Susno Duadji juga tampil di depan Pansus Angket DPR Kasus Bank Century, pada Rabu, 20 Januari 2010, dengan antara lain memberikan dokumen yang lalu disebut ‘testimoni’ dan selanjutnya dikembangkan dan diterbitkan menjadi buku berjudul: Bukan Testimoni Susno Duadji.

Testimoni itu antara lain menyangkut kesengajaan (tidak memprioritaskan) melanjutkan penyidikan kasus bail out Bank Century, karena ada yang diduga terlibat sedang mengikuti Pemilu Wakil Presiden dan kemudian menang. Selanjutnya, Susno Duadji mengungkap aib makelar kasus pencucian uang dan pajak di Mabes Polri, dalam diskusi bukunya, ‘’Bukan Testimoni Susno’’, pada Rabu, 10 Maret 2010, di Gallery Cafe, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.

Tidak cukup sampai di situ, Susno kemudian melaporkan masalah tersebut kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum pada Kamis, 18 Maret 2010. Laporan itulah yang kemudian mengungkap kasus mafia pajak yang ‘’melambungkan’’ nama Gayus Tambunan dan sekaligus menyeret beberapa jenderal polisi.

Opini Publik

Mengapa Susno berani mengambil risiko sebesar itu? Mengapa Susno berani membuka tabir (whistle blower) makelar kasus di Mabes Polri? Mengapa Susno ‘’melawan’’ institusinya?

Dapat diduga Susno melakukan semua itu karena dirinya merasa dikorbankan dalam kasus kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Bibit dan Chandra), maupun dalam kasus pembunuhan berencana yang didakwakan kepada Antasari Azhar.

Opini publik yang terbentuk menyimpulkan bahwa Susno adalah tokoh penting di balik rekayasa pelemahan KPK itu. Tak heran kalau kemudian ia mendapat cacian bertubi-tubi dari berbagai elemen masyarakat.

Susno mengibaratkan Polisi sebagai buaya versus KPK sebagai cicak, sehingga kasus kriminalisasi pimpinan KPK menjadi lebih populer dengan sebutan Cicak versus Buaya. Istilah itulah yang kian memicu gelombang protes kepada Polri dan menuai dukungan kepada KPK.

Masyarakat bahkan tak mau mendengarkan penjelasan Susno bahwa istilah itu dikemukakannya dalam suatu percakapan dengan wartawan tentang teknologi penyadapan yang dimiliki Polri dan KPK. Susno menjelaskan bahwa dari segi teknologi penyadapan, peralatan Polri masih lebih baik dibanding milik KPK. Perbandingannya seperti buaya (Polri) dan cicak (KPK). Tapi dari segi kewenangan atau kekuasaan justru sebaliknya KPK ibarat buaya dan Polri ibarat cicak. Sayangnya, penjelasan itu tidak bisa lagi membendung opini publik bahwa Polri menganggap dirinya sebagai buaya dan KPK sebagai cicak.

Tim Delapan (Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas kasus dugaan pemerasan yang dituduhkan kepada dua pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto) yang dibentuk Presiden SBY, juga turut menuding Polri berada di balik rekayasa kriminalisasi KPK, serta menganggap Susno memegang peranan penting dalam kasus tersebut.

Masyarakat pun semakin yakin bahwa Susno memegang kendali atas rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK, terutama karena jabatannya sebagai Kepala Bareskrim. Penjelasan Susno bahwa dirinya sebagai Kabareskrim tidak dilibatkan dalam pengusutan dugaan suap dan pemerasan yang dituduhkan kepada pimpinan KPK (Bibit-Chandra), pun dianggap sebagai angin lalu.

Citra Susno sebagai Kabareskrim Polri semakin buruk karena dirinya disebut-sebut pernah menemui Anggoro Widjojo (bos PT Masaro) di Singapura saat mengusut kasus pencairan dana Budi Sampoerna di Bank Century dan kasus korupsi PT Masaro yang melibatkan Anggoro Widjojo, kakak Anggodo Widjojo.

Opini publik yang paling membuat Susno sedih adalah dugaan bahwa dirinya menerima aliran dana Rp 10 miliar dalam kasus pencairan dana Budi Sampoerna di Bank Century. Bantahannya di depan Komisi III DPR bahwa dirinya tidak pernah menerima Rp.10 miliar dari Budi Sampurna atau siapapun dalam kasus Bank Century, lagi-lagi tidak dipercaya oleh publik.

Dalam kondisi seperti itu, bukannya mendapat pembelaan dari institusinya, Susno malah dilengserkan dari jabatannya sebagai Kepala Bareskrim Polri dan digantikan oleh Komjen Pol Ito Sumardi Djunisanyoto, pada 24 November 2009. Maka kalau sekarang Susno melakukan evasi komunikasi kepada institusinya, mungkin banyak pihak yang bisa memakluminya, termasuk orang atau pihak-pihak yang sebelumnya pernah mencaci-maki Susno.

Keterangan :
- Artikel ini dimuat di Harian Fajar, Makassar, Sabtu, 10 April 2010 (halaman 4)