Ketua Umum
DPP IPMI Muhammad Amir Jaya (kiri) menyerahkan buku kumpulan cerpen “IBU”
kepada Prof Kembong Daeng, pada acara peringatan HUT ke-3 Ikatan Penulis Muslim
Indonesia, yang dirangkaikan peluncuran buku dan diskusi buku , di Kafebaca,
Jalan Adhyaksa, Makassar, Rabu, 24 Desember 2025. (Foto: Arwan Awing)
-----
Sabtu, 27
Desember 2025
Catatan
HUT Ke-3 IPMI dan Diskusi Buku Kumpulan Cerpen “Ibu” (2):
Kepompong dan Benang-benang
Sutra dalam Cerpen “Ibu”
Oleh:
Asnawin Aminuddin
Jika buku
ini diibaratkan kepompong, maka cerpen-cerpen di dalamnya adalah benang-benang
halus yang perlahan dirajut menjadi sutra. Begitulah Basri Abbas menutup prolog
dalam buku “Kumpulan Cerita Pendek, IBU”.
Sebuah
metafora yang bukan sekadar indah, tetapi menuntun pembaca memahami bagaimana
relasi ibu–anak bekerja dalam sunyi, dalam ketergantungan, dan dalam kasih yang
tak selalu terucap.
Kepompong
itu adalah rahim cerita, tempat kelembutan, empati, dan religiusitas dipelihara
sebelum menjelma menjadi pengalaman batin yang mengharu biru. Dari sanalah,
satu per satu cerpen bergerak: sederhana dalam bahasa, padat dalam makna, dan
lembut dalam cara menyentuh nurani pembaca.
Metafora
kepompong itulah yang seakan hidup kembali dalam diskusi buku: “Kumpulan Cerpen,
IBU”, yang dirangkaikan dengan acara peringatan HUT ke-3 Ikatan Penulis Muslim
Indonesia (IPMI), di Kafebaca, Jalan Adhyaksa, Makassar, Rabu, 24 Desember 2025.
Diskusi buku
menghadirkan tiga pembicara, yakni Dr Asia Ramli Prapanca (seniman, akademisi),
Anil Hukma (penyair, akademisi), dan Irwan AT (seniman, jurnalis), serta dipandu
oleh Damar I Manakku (penulis).
HUT dan
diskusi buku dihadiri sejumlah sastrawan, akademisi dan juga wartawan, antara
lain Prof Kembong Daeng, Dr Dahlan Abubakar, Yudhistira Sukatanya, Andi Wanua
Tangke, Dr. Syariar Tato, Ahmadi Haruna, Syahril Rani Patakaki, Anwar
Nasyaruddin, Andi Ruhban, Syarifuddin Liwang.
Juga hadir
Dr Fadli Andi Natsif, Rusdy Embas, Andi Rosnawatih, Tofan Arief Wibowo, Rahman
Rumaday, Andi Rosnawatih, Syarifuddin Liwang, Rahman Rumaday, Kasmawati Yakub,
dan Asnawin Aminudin.
Dua buku kumpulan
cerpen dibedah dalam diskusi tersebut, yaitu buku “Ibu”, karya Anggota IPMI,
dan buku “Ibu, Gaib!” karya Muhammad Amir Jaya.
Buku kumpulan
cerpen “IBU” berisi 23 cerpen karya 23 anggota IPMI. Buku tersebut diisi prolog
berjudul “Ibu-Anak dalam Kepompong Perempuan” oleh Basri Abbas, serta epilog
berjudul “Ibu, Mutiara dan Harum Kasturi” oleh Nur Alim Djalil.
Ke-23
cerpen yang ada dalam buku tersebut yaitu “Perempuan Selembut Sutera” (Mira
Pasolong), “Ratmini” (Andi Wanua Tangke), “Pertempuran Perempuan” (Sri Rahmi), “Tubuh
Ibu Bau Harum Kasturi” (Muhammad Amir Jaya), “Cerpen Ibu” (Bahar Merdhu), “Ibu
Tetaplah Menjadi Lautan Cintaku” (Syahriar Tato), “Menangis Tak Selamanya Sedih”
(Andi Marliah).
“Mau
Kuracuni Suamiku” (Asnawin Aminuddin), “Mencium Kaki Ibu” (Suradi Yasil), “Dukungan
Ibu” (Fakhrani Nur Fatiha), “Ummi Guruku” (Syahril Rani Patakaki), “Dalam Diam,
Dalam Bait-Bait Doa Ibuku” (Sri Asfirawati Halik), “Doa Sepanjang Masa” (Aslam
Katutu), “Perempuanku” (Jesi Heny), “Ibuku adalah Mutiari Hatiku” (Efa
Patmawati Halik).
“Baktiku
Baru Seujung Kuku” (Kasmawati Yakub), “Mutiara itu, Ibuku” (Syafruddin
Muhtamar), “Nasihat Ibu Sepanjang Waktu” (Muliaty Mastura), “Gado-Gado Buat Ibu”
(Nawir Sulthan), “Bayang Kenangan di Langit Biru” (Yudhistira Sukatanya), “Perempuan
itu, Ibuku!” (Idwar Anwar), “Rahasia Ibu” (I. R. Makkatutu), serta “Oh... Ibu”
(Anwar Nasyaruddin).
Menikmati
Kelembutan Sutra
“Hubungan ibu-anak
merupakan senyawa yang sulit didefinisikan,” kata Basri Abbas dalam prolognya
di buku “Kumpulan Cerpen, Ibu”.
Perspektif
ibu dalam cerpen-cerpen "Kumpulan Cerita Pendek; IBU" seringkali
digambarkan dengan cara yang unik dan mendalam. Namun, penggambaran itu, sekali
lagi, sulit dilakukan para penulis tanpa menghadirkan anak.
“Kelembutan
seorang perempuan, bahkan akan muncul ketika ia menyandang status ibu. Jadilah
sang perempuan itu selembut sutra. Seperti itulah kebanyakan cerpen dalam buku ini,”
kata Basri.
Lantas
bagaimana dengan anak? Basri mengatakan, beberapa cerpen dalam “Kumpulan Cerita
Pendek: IBU” secara tersirat dan tersurat menggambarkan anak dalam
ketergantungan dan kebutuhan kasih sayang.
Anak-anak
digambarkan sangat bergantung pada ibu mereka dan membutuhkan kasih sayang
serta perhatian dari ibu. Sebaliknya, ada juga cerpen yang menghadirkan ibu
dalam keteraniayaan. Hal ini dilakukan penulisnya untuk mengeksplorasi
kelembutan ibu itu sendiri melalui keterlibatan anak.
Cerpen
lainnya memihak pada kepatuhan dan ketaatan anak. Ada yang bahkan
mengidentifikasi karakter anak sebagai insan yang demikian saleh. Sang anak
rela mengorbankan keinginan mereka sendiri demi ibu.
“Ada anak
(istri) yang ingin meracuni suaminya, tetapi tidak terjadi karena menuruti
nasihat ibu. Sang ibu bahkan tampil menjadi tokoh yang sangat bijak dalam
menghadapi masalah anaknya. Solusi dari nasihat bijak tokoh ibu pun menuai
hasil. Anak justru akur dengan suami yang awalnya hendak diracuni,” tutur Basri.
Rangkaian
alur tersebut, katanya, menggambarkan karakter anak yang bingung dan tidak
mengerti tentang dunia sekitarnya. Muncullah kemudian peran dan tanggung jawab
ibu.
Karakter
lain, kebanyakan digambarkan sebagai anak-anak yang sangat mencintai dan setia
pada ibu mereka. Sudut pandang anak dicetuskan untuk mengungkap kelembutan
perasaan ibu. Keterharuan pun mengalir hingga ke persendian. ltu perasaan saya
tatkala membaca kumpulan cerpen "Kumpulan Cerita Pendek 1BU" ini.
Penulis
lainnya juga menghadirkan frasa simbolik dalam sebuah alur yang logis untuk
melukiskan karakter ibu sehingga tidak butuh ekstra penafsiran menebaknya.
Teknik itu dilakukan beberapa penulis untuk menggambarkan perspektif ibu dengan
cara yang unik dan “meleleh”.
“Oleh
karena itu, pembaca dapat memahami dan merasakan sebuah pengalaman batin yang
mengharu biru. Apalagi diungkapkan dengan bahasa tuturan, bahkan dialek lokal,”
ujar Basri.
Kebanyakan
pengalaman itu menjelajah dalam nilai-nilai religius. Beberapa aspek yang
muncul adalah kesabaran dan ketakwaan. Banyak tokoh cerpen-cerpen di dalam buku
ini yang menunjukkan upaya keikhlasan dari bingkai ketakwaan tersebut, Terutama
dalam menghadapi kesulitan dan tantangan.
Meskipun
yang ditampilkan adalah dialog ibu-anak, tetapi sesungguhnya, sasaran
sampingannya adalah menekankan pentingnya kasih sayang dan empati terhadap
sesama. Ini pulalah yang menjadi nilai-nilai yang sangat penting dalam agama.
“Religiusitas
itu kemudian mengarah pada proses pengampunan dan kesadaran atas
kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan. Baik oleh ibu itu sendiri, maupun
sang anak,” papar Basri.
Tujuan
penulis dalam menampilkan hal tersebut adalah menekankan kepada pembaca akan
pentingnya keharmonisan. Baik itu keharmonisan keluarga, maupun relasi sosial
lainnya. Pembaca seolah-seolah menikmati sebuah alur ketergantungan. Bergantung
pada pasangan, keluarga dalam rumah tangga, pada tetangga, relasi sosial, dan
ujungnya, bergantung pada kehendak kekuatan-Nya.
Basri
mengatakan, secara keseluruhan, semua cerpen dalam buku: “Kumpulan Cerita
Pendek: IBU” ini berupava menggunakan bahasa yang demikian sederhana sehingga
mudah segera dipahami alurnya.
Nilai-nilai
religiusitas yang dominan terasa digambarkan dengan rangkaian alur yang padat.
Tidak butuh membaca ulang satu paragraf untuk menyelami muatan pesan setiap
tahapan, kendati ada juga yang berupaya menggunakan simbol-simbol alam. Namun,
hal itu dilakukan untuk memperkuat pesan simbolik yang ingin disampaikan, bukan
mempersulit pembaca.
“Di
situlah kelihaian penulis, karena nilia-nilai agama dititipkan pada alur yang
sederhana tersebut. Tumpangan pesannya pun mengalir pada dialog ibu-anak. Ini
pula ‘cara lain’ seorang penulis cerpen untuk menyuntikkan nilai-nilai
religiusitas tersebut kepada pembaca tanpa merasa diceramahi. Seolah-olah
pembaca berjalan melewati alur babatan sang penulis,” tutur Basri.
Rasa yang
kemudian muncul adalah cerpen-cerpen dalam buku Kumpulan Cerita Pendek
IBU" ini dapat meningkatkan empati dan kasih sayang pembaca. Bukan saja terhadap
perempuan dalam keibuannya, melainkan muruah selembut sutra itu pada dasarnya
milik rahim sesama manusia.
Di sana
ada cermin kepedulian yang setiap saat harus dilap melalui saling ketegantungan
terhadap kebutuhan orang lain. Kelembutan perempuan akan terasa karena ada
karakter di luar dirinya. Anak-ibu itulah wadahnya.
“Kumpulan
cerpen dalam buku inilah kepompongnya. Para penulis itulah benang halusnya.
Dan, kita tak akan menikmati kelembutan sutranya tanpa membaca semua cerpen
yang ada,” tutup Basri. (bersambung)
.....
Tulisan
Bagian 1: Empat Desember Berturut-turut Diskusi Buku

Tidak ada komentar:
Posting Komentar