Senin, 17 Mei 2010



http://www.ujungpandangekspres.com/view.php?id=47226
Harian Ujungpandang Ekspres, Makassar
Selasa, 18-05-2010

Banyak Kebudayaan Pinjaman di Sulsel

Oleh: Asnawin
Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Satria Makassar

Masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) memiliki banyak kebudayaan dan kearifan lokal, tetapi sebagian masyarakat dan sejumlah orang yang tengah berkuasa, lebih senang ‘’memakai baju’’ kebudayaan pinjaman dan ‘’melepas baju’’ kebudayaan atau kearifan lokal. Itu terjadi karena adanya komunikasi antar-budaya dan lemahnya pertahanan budaya masyarakat Sulsel.

Komunikasi antar-budaya secara langsung maupun secara tidak langsung telah ‘’membuka mata’’ orang Sulsel bahwa ada budaya lain yang berbeda dengan budaya asli mereka. Ada yang terbelalak matanya, ada yang silau, ada yang menyipitkan matanya, dan ada yang menutup mata.

Kemajuan teknologi (terutama teknologi komunikasi), derasnya arus informasi, bertambahnya orang kaya yang mampu ‘’jalan-jalan’’ ke kota, provinsi, dan atau ke negara lain, serta banyaknya orang asing yang berkunjung ke daerah kita, secara tidak langsung telah mengakibatkan terjadinya kontak atau komunikasi antar-budaya.

Kontak dengan kebudayaan lain dapat mengakibatkan perubahan atas satu kebudayaan atau bahkan dua kebudayaan sekaligus. Pada awal kontak antar-budaya, terjadi proses peniruan karakteristik dari isi suatu unsur kebudayaan tertentu. Setelah proses peniruan itu dipakai berulang-ulang dan dibiasakan dalam suatu komunitas tertentu, maka kebudayaan yang sebelumnya hanya merupakan pinjaman, berubah menjadi kebudayaan setempat.

Dalam kebudayaan, proses pinjaman kebudayaan berbeda dengan akulturasi. Akulturasi adalah proses pertemuan unsur-unsur dari berbagai kebudayaan yang berbeda, yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur tersebut.

Syarat akulturasi adalah harus didahului oleh kontak, tetapi dalam kebudayaan pinjaman tidak selalu atau bahkan tidak didahului dengan kontak. Sebagian masyarakat Sulsel tidak kontak dengan kebudayaan Amerika, tidak pernah pergi ke Negeri Paman Sam, tetapi banyak di antara mereka yang suka makan ayam goreng di McDonald, California Fried Chicken, dan atau Kentucky Fried Chicken.

Sebelum berbicara lebih jauh tentang kebudayaan pinjaman di Sulawesi Selatan, ada baiknya terlebih dahulu kita memiliki pemahaman yang sama tentang budaya dan kebudayaan.

Kebudayaan berasal dari kata budaya yang memiliki banyak arti, antara lain adat istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju, dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah).

Secara etimologis, budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Budaya kemudian diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.

Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin, colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai kultur dalam bahasa Indonesia.

Berdasarkan pengertian kata dasarnya itu, maka kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Kebudayaan juga diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.

Edward Burnett Tylor dalam bukunya ‘’Primitive Culture’’ mengatakan, kebudayaan adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat, serta setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat.

Kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat merupakan kekuatan abstrak yang mampu memaksa dan mengarahkan pendukungnya untuk berperilaku sesuai dengan sistem pengetahuan, gagasan, dan kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat.

Kebudayaan lokal Sulawesi Selatan adalah kebudayaan yang dimiliki masyarakat Sulsel berupa kebiasaan-kebiasaan secara turun-temurun dalam berperilaku, berbuat, dan melakukan sesuatu dalam kehidupan sehari-hari.

Kebudayaan Lokal


Dalam berbagai literatur, dari berbagai hasil diskusi, serta berdasarkan pengalaman pribadi sebagai orang yang lahir dan dibesarkan dalam kebudayaan lokal Sulsel, penulis dapat menyebutkan beberapa kebudayaan asli dan kearifan lokal masyarakat Sulsel.

Beberapa puluh tahun silam, perempuan Sulsel (khususnya Bugis-Makassar) jarang sekali keluar rumah. Kalau mereka keluar rumah, maka kita dengan mudah akan mengenali dan mengidentifikasi mereka sebagai perempuan, terutama dari rambut dan pakaiannya (feminim). Mereka juga lebih banyak tersenyum dan hanya sekali-sekali berbicara tetapi itupun dengan ‘’volume kecil.’’

Sekarang, perempuan Sulsel ‘’berkeliaran’’ di mana-mana dan tak jarang penampilan mereka tidak ada bedanya dengan laki-laki. Kalau berbicara, volume suara mereka kadang-kadang lebih besar dibanding volume suara laki-laki.

Orang Sulsel juga sangat gemar bergotong-royong (abbulo sibatang/mabbulo sibatang). Memindahkan atau membangun rumah pun sering dilakukan secara gotong-royong. Semuanya dilakukan secara sukarela, senang hati, bahkan dalam suasana ceria. Sekarang, gotong-royong sudah merupakan barang langka dan mahal harganya.

Jika ada di antara tetangga atau keluarga yang mengalami kesulitan, sedang susah, atau perlu dibantu, maka orang-orang akan segera memberikan bantuan secara sukarela, karena orang Sulsel punya budaya kesetiakawanan sosial (pesse/pacce), serta saling tolong-menolong (mali siparappe, rebba sipatokkong).

Dalam pergaulan sehari-hari, orang Sulsel sangat menjaga tata krama (ada’/ade’), tetapi sekarang sudah banyak orang Sulsel yang seolah-olah tidak mengenal ada’ atau ade’, baik dalam pergaulan dengan orang lain, maupun pergaulan dengan orang yang lebih tua atau bahkan dengan orangtua kandung.

Dulu, pemimpin dipilih berdasarkan kapasitas dan dedikasi. Pemimpin zaman dulu juga sangat dihormati, disegani, bahkan kadang-kadang ditakuti, karena mereka berani dan bertanggung-jawab (warani/barani), memiliki keyakinan yang teguh (getteng), serta menjaga harga diri (siri’), sehingga mereka punya kharisma dan kewibawaan. Sekarang pemimpin (penguasa) dipilih karena ‘’isi tas’’ dan prestasi semu, tetapi tidak banyak di antara mereka yang dihormati, disegani, apalagi ditakuti.

Kebudayaan Pinjaman


Kini kebudayaan dan kearifan lokal sudah banyak yang terlupakan dan diganti dengan kebudayaan pinjaman.

Beberapa kebudayaan pinjaman itu antara lain cara berpakaian yang tidak lagi feminim di kalangan perempuan, cium pipi kanan – cium pipi kiri (cipika-cipiki) setiap bertemu, anak menyapa orangtua dengan tanpa rasa hormat, dan murid menelepon guru tanpa rasa segan.

Selain itu, banyak orang yang lebih senang mengungkapkan kekecewaan dan atau kemarahan secara frontal (aksi unjukrasa, dsb), serta banyak ditemui remaja atau orang dewasa lain jenis kelamin dan bukan suami-isteri berdua-duaan dan bermesraan di tempat umum .

Kita juga sering membiarkan orang lain (keluarga, sahabat, tetangga, rekan kerja) berbuat hal-hal yang kurang bagus, serta lebih mendahulukan berbagai macam kesibukan dibanding bersosialisasi dan berkomunikasi dengan tetangga.

Kebudayaan pinjaman lain yaitu menghabiskan malam di tempat hiburan malam (THM), menyanyikan lagu-lagu keras dengan syair bahasa asing, serta membangun rumah dengan meniru gaya arsitektur Barat.

Masih banyak lagi kebudayaan pinjaman yang akhirnya seolah-olah sudah menjadi kebudayaan setempat masyarakat Sulsel.

Budaya korupsi juga mungkin masuk kategori kebudayaan pinjaman, karena sampai saat ini penulis belum menemukan literatur yang menyatakan bahwa orang Sulsel zaman dulu suka korupsi.

Sebagai ‘’produk’’ orang Sulsel tahun enampuluhan, penulis sangat merindukan tampilnya kembali kebudayaan lokal dan kearifan lokal sebagai ‘’tuan rumah’’ di Sulsel. Masih bisakah itu diwujudkan? (***)

Tidak ada komentar: