Selasa, 16 Februari 2010

Pena Mas Buat Tarman Azzam



keterangan gambar: Tarman Azzam

Pena Mas Buat Tarman Azzam
Selasa, 09 Pebruari 2010

Palembang (Cek&Ricek - C&R) - Peringatan Hari Pers Nasional/HUT ke-64 PWI yang dilangsungkan di Palembang, Sumatera Selatan, niscaya akan menjadi momen penting dan dikenang indah dalam hidup Tarman Azzam (TA). Pada perayaan puncak peringatan HPN yang dihadiri Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono beserta Ibu Ani SBY, para pejabat tinggi, tokoh- tokoh pers dan ratusan wartawan dari seluruh Indonesia, TA meneriman Pena Mas yang merupakan penghargaan tertinggi dalam komunitas wartawan Indonesia.

Dalam sejarah PWI, kebanyakan penghargaan Pena Mas diberikan kepada pihak di luar komunitas pers atas jasanya membangun dan menumbuhkan kehidupan pers. Pihak luar yang paling banyak menerima Pena Mas adalah Gubernur/ Kepala Daerah yang di masa kepemimpinannya di suatu daerah berhasil membangun kehidupan pers yang dinamis.

Satu satunya wartawan yang dicatat sebagai penerima Pena Mas adalah Rosihan Anwar. Pena Mas itu diberikan atas jasanya mendidik dan mencetak ratusan wartawan profesional melalui program Karya Latihan Wartawan (KLW), yang dipimpinnya pada dekade tahun 1970–1980an. Dengan TA kini, berarti Pena Mas baru diberikan kepada dua wartawan, “orang dalam komunitas pers sendiri”. Menurut konsiderans panitia, TA mendapatkan Pena Mas atas jasanya memimpin PWI selama dua priode di masa yang teramat sulit dalam sejarah PWI. Priode pertama 1998–2003; kemudian priode kedua; 2003–2008.

TA pertama kali terpilih dalam Kongres ke XX PWI di Semarang, Jawa Tengah, bulan Oktober 1998. Kongres itu diselenggarakan hanya beberapa bulan setelah di Indonesia terjadi reformasi di segala bidang menyusul runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Tentu masih segar dalam ingatan di masa itu, segala hal berbau Orde Baru diganyang, dianggap ikut bertanggung jawab atas rusaknya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara selama 32 tahun. PWI yang pernah bermitra erat dengan rezim Orde Baru, mau tak mau terkena pula imbas dari keruntuhan rezim itu. PWI tidak hanya menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat, tetapi bahkan juga menghadapi kiris kepercayaan dari sebagian anggotanya sendiri.

Sebagai figure central TA dihujat di mana-mana. Bahkan pernah boneka bersimbol TA dilarung (dihanyutkan ke laut oleh sejumlah wartawan, dalam suatu prosesi di Pantai Parangtritis, Jawa Tengah). Hanya berkat kesabaran, keuletan, ketegaran, dan kerja keras, TA dan kawan-kawan akhirnya berhasil menyelamatkan dan memulihkan eksistensi PWI sebagai organisasi terhormat. Keberhasilan itulah yang mengantarkan TA dipilih kembali secara aklamasi untuk memimpin PWI kedua kali dalam Kongres XXI PWI di Palangkaraya tahun 2003 untuk priode sampai 2008.

Kepemimpinan yang mengesankan dari pria sederhana tapi energik itu selama menahkodai organisasi, cukup menjelaskan mengapa banyak anggota PWI yang amat berat melepas dia “lengser” pada Kongres XXII PWI di Banda Aceh, Nagroe Aceh Darussalam. Andai saja AD/ART organisasi tak membatasi ketua umum hanya boleh dipilih dua kali, tidak mustahil TA masih akan terpilih untuk priode berikutnya. Tapi, TA sendiri tak berminat memecahkan “rekor” menjadi pengurus tiga priode berturut-turut.

Begitu saja pun, dia menjadi Ketua Umum PWI pertama yang selamat merampungkan masa tugas untuk dua priode kepengrusan. Rekor dua priode dulu dipegang oleh Harmoko, namun yang bersangkutan tidak sampai selesai karena diangkat sebagai Menteri Penerangan RI pada tahun 1983. “Memangnya saya superman,” katanya suatu hari. Ia hanya sedih dan merasa tak ikhlas jika penggantinya kelak tak memberi banyak waktu dan perhatian kepada PWI. Apalagi, kalau hanya memanfaatkan PWI untuk tujuan lain.

Perhatian TA selama memimpin PWI memang menakjubkan. TA bisa menghabiskan waktu 25 hari dalam sebulan berkeliling daerah mengunjungi cabang dan perwakilan organisasi, sementara untuk keluarga, anak dan istri, dia sisakan hanya 4-5 hari dalam sebulan. Beberapa teman yang khawatir sempat mengingatkan TA pada kewajiban utamanya untuk memperhatikan keluarga. Tapi, TA mengatasi masalah itu dengan sesekali mengajak istri ikut dalam kunjungan dinasnya ke daerah. Saking seringnya terbang ke daerah, membuat TA dijuluki sebagai pembayar airport tax terbesar. TA seringkali tiba di Bandara Cengkareng dari suatu daerah hanya untuk transit ganti pesawat menuju daerah lain.

TA hampir tak mengenal kamus istirahat. Entah dari mana sumber energi yang luar biasa itu. Kisah tersebut sering manjadi topik pembahasan kawan-kawan di PWI. Pernah dalam keadaan demam tinggi, TA tetap meneruskan perjalanan mengunjungi cabang PWI di suatu daerah. Itu lantaran kehadirannnya sudah dijadwalkan di sana. Itulah antara lain yang menyadi penyebabnya, mengapa selalu muncul perasaan subyektif kemungkinan PWI akan sulit mencari kader lain yang bisa menandingi semangat dan stamina TA.

TA lahir di Bangka 11 Desember 1949. Putera pasangan Muhammad Azis bin Derani dengan Siti Zuraida binti Thayib ini merintis karier sebagai jurnalis di Harian Kami pada tahun 1970. Ia mulai aktif dalam jajaran Pengurus PWI pada tahun 1983 dengan menjadi Ketua Kelompok Wartawan Kepresidenan / Setneg PWI Jaya hingga tiga priode. Tahun 1987 ia direkrut masuk jajaran pengurus pleno PWI Jaya dengan jabatan Kepala Biro Organisasi. Selanjutnya Wakil Sekretaris, Ketua PWI Jaya (1993–1999), kemudian akhirnya terpilih sebagai Ketua Umum PWI di Semarang.

Hal lain yang mengagumkan dari TA, ialah kemampuannya menghapal nama hampir seluruh Pengurus dan anggota PWI di Pusat maupun di pelosok terpencil Indonesia. Ia dikenang sebagai orator ulung yang senantiasa mengobarkan kebanggaan seluruh anggota terhadap PWI. Pidatonya selalu menjadi inspiring bagi anggota karena pengetahuan dan pemahamannya yang luar biasa terhadap bukan hanya problem organisasi, tetapi problem yang dihadapi umumnya bangsa Indonesia, dan juga bangsa-bangsa dunia.

Kongres XXII PWI di Banda Aceh tahun 2008 memilih Margiono sebagai Ketua Umum PWI, sedangkan TA sebagai Ketua Dewan Kehormatan PWI. Banyak wartawan yang kalah bertaruh. Sebab ternyata jabatan itu tidak membuatnya bisa “diam”, dan memberinya kesempatan mengurus urusannya sendiri, membayar tunggakannya tempo hari dengan lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga. Tidak. Jadwalnya berkeliling daerah di seluruh Indonesia tidak berkurang sama sekali. Undangan berceramah di daerah ternyata tidak putus putus datang dari pelosok Nusantara.

Sudah begitu, TA pun masih sempat melanjutkan kuliah untuk strata duanya melalui program kerajasama Lemhanas dan Universitas Gajah Mada. “ Berat, berat sekali,” katanya. Cuma sekali itu saya dengar keluhannya soal kegiatan berkuliahnya yang kini menjelang akhir. Saya menanggapi dengan tertawa, yang selanjutnya dia membalas dengan tertawa lebar. Artinya apa? Itu juga urusan kecil buat dia. TA memang layak menjadi inspiring bagi semua wartawan, terutama yang wartawan muda yang keluhannya berlimpah justru di tengah fasilitas kerja yang berlimpah. (*)


Catatan: Artikel ini merupakan kutipan dari komentar H. Ilham Bintang, Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Pusat dan Pendiri/Pemimpin Redaksi Tabloid Cek&Ricek, yang telah dimuat dalam Buku Panduan Acara Hari Pers Nasional (HPN) 2010 maupun Tabloid Cek&Ricek - C&R. (*)

- Nb: berita ini dikutip dari www.pwi.or.id, pada hari Selasa, 16 Februari 2010

Tidak ada komentar: