Rosihan Anwar bersama istrinya, Ibu Hajjah Zuraida. Ibu Zuraida meninggal dunia pada Ahad pagi, 05 September 2010, pukul 09.30 WIB.
--------
23 September 2010
In
Memoriam Ibu Zuraida:
Ibu
Zuraida & Pak Rosihan Anwar
Oleh:
H Ilham Bintang
(Sekretaris Dewan
Kehormatan PWI Pusat, dan Pemimpin Redaksi Tabloid Cek&Ricek / C&R)
Kematian memang sesuatu
yang mutlak dan rutin dalam kehidupan manusia. Namun, kalau itu merenggut orang
dekat, orang tercinta dalam kehidupan kita, wajar saja jika peristiwa itu tetap
saja terasa seperti gempa yang mengguncang bumi beberapa saat.
Seperti itu agaknya yang
dirasakan oleh tokoh pers nasional Rosihan Anwar saat istri tercinta, Ibu
Hajjah Zuraida, mendadak direnggutkan dari sisinya, Ahad pagi, 05 September
2010, pukul 09.30 WIB.
Rosihan Anwar pasti
sangat terpukul. Saya merasakan itu ketika menghubungi Pak Ros --begitu kami
biasa memanggil tokoh pers nasional itu-- pertelepon beberapa saat setelah Ibu
Zuraida berpindah ke pangkuan Allah SWT.
“Ibu sudah tiada, Ilham.
Mohon maafkan, mohon doakan,” katanya dalam suara setengah sesenggukan.
Saya masih merasakan sisa
tangisnya. Apalagi, Ahad pagi itu, Ibu Zuraida tidak menunjukkan tanda apa-apa,
tanda spesifik hendak menghadap Illahi. Sakit pun tidak. Ibu Zuraida malah
sedang menikmati sarapan di meja makan di rumahnya.
Rosihan yang berpuasa
menemani, kemudian pamit sebentar ke toilet. Saat ditinggal ke kamar mandi
itulah Zuraida terjatuh dari kursi rodanya. Posisinya tertelungkup, satu meter
jaraknya dari kursi roda. Ibu Zuraida segara dibopong tempat tidur, namun
jiwanya sudah tak tertolong.
“Cuma sekejap itu saja
dia sudah hilang, sudah pergi, pergi selamalamanya,” kenang wartawan kawakan
itu di rumah duka.
Innalillahi Wainna Ilaihi
Rojiun. Ibu Zuraida dipanggil Sang Khalik lima hari sebelum Idul Fitri, lima
belas hari sebelum almarhumah berulang tahun ke-87, pada 20 September 2020.
Dipercaya banyak orang,
kepergiannya di bulan Ramadhan, bulan mulia pertanda bagus. Insya Allah,
almarhumah akan termasuk yang disucikan Allah SWT, malah lebih dulu lima hari
dari seluruh umat Islam yang akan merayakan Idul Fitri.
Masa
Pendudukan Jepang
Rosihan Anwar dan Siti
Zuraida bertemu pada masa pendudukan Jepang. Pasangan itu menikah, 25 April
1947, di masa revolusi kemerdekaan. Mereka merupakan satu dari sedikit pasangan
yang merasakan pahit getir perjuangan bangsa Indonesia sejak zaman kemerdekaan,
Orde Lama (Orla), Orde Baru (Orba) hingga era Reformasi.
Maka, ketika pagi itu
Tuhan menjemput Ibu Siti Zuraida, niscaya itu kehilangan amat besar dan berat
bagi Pak Ros. Kisah cinta lebih 63 tahun pasangan itu mengarungi bahtera
perkawinan. Mereka dikaruniai tiga anak, Aida Fatia, Omar Lutfi, dan Naila,
serta ada enam cucu.
Perjuangan dan cinta
seolah ikut berperan dalam perjalanan hidup mereka. Hubungan cinta kasih
pasangan itu memang bersemai di masa revolusi kemerdekaan. Ibu Zuraida masa itu
tinggal di Yogyakarta.
Pak Ros membuka rahasia,
mengapa dulu sering sekali mengikuti perjalanan Perdana Menteri (PM) Syahrir
bolak balik Jakarta-Yogyakarta.
“Itu karena separuh
panggilan tugas, separuh lagi sebab panggilan cinta,” guraunya.
Cinta pasangan ini tak
pernah luntur. Kebetulan saya ikut mengamati. Setidak-tidaknya tiga puluh tahun
terakhir dalam perjalanan ke mana pun dalam rangka tugas apapun, selalu pergi
berdua.
Puluhan kali saya bertemu
dalam perjalanan mengikuti kegiatan festival film di dalam maupun di luar
negeri. Begitu juga dengan perjalanan dalam rangka kegiatan Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI), mereka tak terpisahkan.
Di dunia film, sekian
belas tahun Pak Ros duduk sebagai anggota Dewan Film Nasional, dan juga sebagai
anggota Dewan Juri.
Begitu halnya di PWI,
karena puluhan tahun Pak Ros menjadi pengurus di organisasi wartawan yang ikut
dia dirikan pada tahun 1946.
Saya beruntung karena
kaitan tugas di bidang sama, sehingga sering bertemu pasangan ini. Pak Ros dan
Ibu Zuraida adalah simbol sebaik-baik pasangan rumah tangga. Kami bersepakat
dengan banyak teman menjadikan mereka sebagai pasangan idola. Pasangan itu
merupakan nomor bukti dari ungkapan ibarat mangkuk dan tutupnya.
Soulmate
Menarik mengulas rumah
tangga Ayatollah wartawan Indonesia ini. Sebagai wartawan, Rosihan dikenal
garang, tapi sebagai suami ia terbilang lelaki penurut. Beberapa peristiwa
penting dalam hidupnya ditentukan oleh kendali Zuraida.
Ambil contoh pada 1970
ketika Rosihan ditawari jabatan duta besar Indonesia untuk Vietnam oleh
Presiden Soeharto. Begitu tahu, Zuraida langsung bilang tidak. Mendengar itu,
Rosihan tak bisa membantah lagi. Ia pun mengirim surat penolakan kepada
Presiden Soeharto.
“Mau bilang apa lagi,
putusan ibu seperti itu,” ujar Pak Ros.
Gara-gara mematuhi istri,
Pak Harto kabarnya sempat memendam rasa kecewa kepada Pak Ros. Itu diungkap Ibu
Tien kepada Pak Ros dalam suatu kesempatan. Malah, santer jadi bahan
pergunjingan di kalangan terbatas wartawan, gara-gara penolakan tersebut,
diramalkan peluang wartawan jadi duta besar akan tertutup. Syukurlah itu tidak
terbukti.
Di masa tua, perhatian
Pak Ros terhadap Ibu Zuraida maupun sebaliknya menakjubkan, tidak usang ditelan
waktu. Dua tahun lalu ketika Ibu Zuraida dirawat karena sesuatu penyakit,
Rosihan menangis sesenggukan.
Saya tahu karena Pak Ros
secara khusus menelpon saya menginformasikan keadaan menghawatirkan Ibu Zuraida
yang sedang diopname di Metropolitan Medical Center (MMC).
Mereka adalah belahan
jiwa (soulmate) satu sama lain. Di hari wafat Ibu Zuraida, Pak Ros menangis di
telepon. Begitu juga ketika saya datang melayat ke rumah duka. Matanya basah
ketika memeluk saya.
Tidak jauh dari tempatnya
berdiri, di pembaringan, almarhumah Ibu Zuraida seperti hanya tertidur.
Wajahnya bersih membersitkan senyum, seakan bahagia karena kembali dengan
tenang kepada pemiliknya yang sah, Sang Khalik. (*)
------
Keterangan: Artikel ini
dimuat di web resmi PWI Pusat, http://pwi.or.id/index.php/Berita-PWI/In-Memoriam-Ibu-Zuraida-Rosihan-Anwar.html,
Rabu, 08 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar