MR MOHAMMAD NATSIR. Kongres PWI Salatiga pada 24 September 1952 membentuk Dewan Kehormatan PWI dengan susunan kepengurusan, H Agus Salim (Ketua), Mr Mohammad Natsir (Wakil Ketua), serta tiga anggota, yakni Prof Mr Soepomo, Roeslan Abdulgani, dan Djawoto. (int)
Ahad, 26 September 2010
Sejarah Dewan
Kehormatan PWI (1):
Pembentukan
Dewan Kehormatan PWI
Oleh: Asnawin Aminuddin
Seperti diketahui, ketika PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) didirikan di
Surakarta pada 09 Februari 1946, tidak diikuti dengan pembentukan Dewan
Kehormatan PWI (DK-PWI). Hal ini dapat dimengerti karena yang menjadi pusat
perhatian para tokoh pers yang berkumpul waktu itu adalah bagaimana upaya
menyatukan segenap potensi pers nasional untuk mempertahankan proklamasi
kemerdekaan.
Untuk itu mutlak diperlukan
satu wadah yang mempersatukan pers nasional yang tersebar di seluruh pelosok
Nusantara dan tidak lagi terkotak-kotak dalam berbagai organisasi dan latar
belakang yang berbeda seperti sebelumnya. Termasuk mempersatukan para wartawan
yang bertugas dan berjuang di daerah "republik" dan wartawan yang
bertugas dan berjuang di daerah pendudukan militer Belanda.
Fakta bahwa para tokoh pers
perjuangan yang datang dari berbagai pelosok Nusantara dapat berkumpul di
Surakarta pada awal Februari 1946 itu saja sudah merupakan perjuangan
tersendiri. Sebab untuk tiba di tempat pertemuan (Surakarta) jelas menghadapi
berbagai rintangan, bahkan penangkapan dari bala tentara Belanda dan
kaki-tangannya.
Kemudian kesepakatan para
pejuang pers membentuk satu wadah bagi keberhasilan perjuangan bangsa juga
merupakan prestasi tersendiri karena sebelumnya tak mampu menyatukan diri dalam
satu wadah perjuangan secara nasional setelah proklamasi kemerdekaan, seperti
halnya pembentukan PWI.
Jadi, kalau berdirinya PWI
tidak diiringi dengan pembentukan Dewan Kehormatan bisa dimaklumi. Apalagi
waktu itu belum dirumuskan secara formal Kode Etik Jurnalistik PWI sebagaimana
lazimnya etika profesi.
Oleh karena itu, mengingat
pemusatan perhatian tertuju pada perjuangan mempertahankan proklamasi
kemerdekaan, maka sekalipun para tokoh pers yang berhimpun di Surakarta itu
menyadari perlunya kode etik profesi kemudian ada institusi untuk
menegakkannya, kehadiran Dewan Kehormatan dimaksud belum merupakan hal yang
sangat mendesak.
Lagi pula, seperti
dikemukakan, Kode Etik Jurnalistik PWI waktu itu belum dirumuskan secara
formal, padahal tugas dan fungsi Dewan Kehormatan adalah mengawasi dan kemudian
memutuskan serta menetapkan sanksi atas pelanggaran kode etik.
Keberadaan kode etik bagi
profesi wartawan dan institusi untuk mengawasi pelaksanaan penaatannya berupa
Dewan Kehormatan bersifat mutlak. Sebab Dewan Kehormatan sepeti diketahui
bertugas meneliti redaksional media massa.
Kemudian menangani pengaduan
masyarakat berkenaan dengan tuduhan pelanggaran kode etik. Dewan inilah
selanjutnya yang memutuskan apakah telah terjadi pelanggaran kode etik atau
tidak.
Jelaslah bahwa tugas dan
fungsi Dewan Kehormatan bagi satu organisasi profesi seperti PWI sangat penting
dan menentukan. Sebab, bagi organisasi profesi mutlak diperlukan satu lembaga
atau institusi yang bertugas secara mandiri mengawasi kode etik serta menetapkan
sanksi atas pelanggarannya.
Hampir dapat dipastikan, para
tokoh pers yang mendirikan PWI waktu itu juga menyadari betapa pentingnya
lembaga dimaksud. Akan tetapi karena pengerahan tenaga dan pikiran masih
dipusatkan kepada perjuangan fisik melawan agresi militer Belanda, kehadiran lembaga
pengawas pelaksanaan kode etik tersebut dianggap masih belum terlalu mendesak.
Barulah dalam perkembangan
pers selanjutnya, terutama dengan diterapkannya sistem pers liberal berdasarkan
UUDS-1950 yang menganut sistem kabinet parlementer pada 1950-an, makin
dirasakan perlunya segera membentuk institusi yang bertugas mengawasi dan menetapkan
sanksi atas pelanggaran kode etik.
Karena media massa waktu itu
diwarnai oleh polemik politik antara partai yang satu dengan partai lain.
Kemudian polemik berkepanjangan antara tokoh partai yang satu dengan tokoh
partai lain bahkan memasuki hal-hal bersifat pribadi.
Apalagi waktu itu pers
nasional diwarnai oleh kehadiran koran-koran partisan yang sudah barang tentu
menjadi terompet partai dengan mengabaikan etika jurnalistik yang seharusnya
menjadi pedoman dalam menjalankan kegiatan kewartawanan. Maka kehadiran Dewan
Kehormatan pun dirasakan semakin mendesak.
Berbagai komentar serta kritik
yang dilontarkan, baik oleh tokoh pers maupun tokoh masyarakat serta pimpinan
pemerintahan waktu itu, menggambarkan betapa kebebasan pers yang berkembang
pada awal 1950-an sudah tidak sehat lagi.
Karena dalam kenyataannya
waktu itu, kebebasan pers pada umumnya dilaksanakan tanpa batas, dalam arti
tidak diikuti oleh tanggung jawab. Padahal, di negara demokrasi paling liberal
sekalipun harus ada keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab (freedom
and responsibility).
Tapi pada sisi lain, perlu
juga dicatat bahwa praktek kebebasan pers yang terlalu liberal seperti itu ada
kaitannya dengan etika jurnalistik. Dengan kata lain, pers menerapkan kebebasan
tanpa batas seperti itu juga sebagai akibat belum adanya norma etik yang baku
dan dirumuskan secara formal yang menjadi pegangan dalam melaksanakan kebebasan
serta acuan untuk menilai apakah pemberitaan pers sudah sesuai dengan kode etik
atau tidak.
Bisa juga dikatakan bahwa
pelaksanaan kebebasan pers tanpa batas tersebut sebagai akibat belum adanya
institusi atau lembaga yang khusus dibentuk untuk mengawasi pemberitaan pers
apakah sudah sesuai dengan kode etik atau tidak.
Kesadaran akan perkembangan
pers seperti itu mendorong Kongres VI PWI di Salatiga pada 1-3 Juni 1952
memutuskan membentuk Dewan Kehormatan PWI yang khusus bertugas mengawasi
pelaksanaan penaatan kode etik jurnalistik.
Salah satu keputusan Kongres
VI PWI Salatiga berkenaan dengan pembentukan Dewan Kehormatan PWI menyatakan,
“Oleh konperensi dibentuk suatu Dewan Kehormatan, sedapat-dapatnya terdiri dari
pemimpin-pemimpin redaksi, berkedudukan di tempat sekretariatnya yang mempunyai
kewajiban mempertimbangkan soal-soal sulit dalam pelaksanaan Code
Djoernalistiek, dan bersama dengan pengurus mempunyai kekuasaan memutuskan
pemecatan atau schorsing terhadap anggota yang dianggap melanggar Code” (Pers
dan Masyarakat, terbitan PP PWI).
Akhirnya sesuai amanat Kongres
PWI Salatiga pada 24 September 1952 dibentuklah Dewan Kehormatan PWI dengan
susunan kepengurusan, H. Agus Salim (Ketua), Mr Mohammad Natsir (Wakil Ketua),
dengan anggota: Prof. Mr Soepomo, Roeslan Abdulgani, dan Djawoto.
……
Sumber:
--
http://www.dewankehormatanpwi.com/V.03/profil.php?Subject=1, dikutip pada
Senin, 27 September 2010
-- http://www.penaaksi.com/2013/02/keteladanan-mohammad-natsir.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar