SUARDI TASRIF. Pengurus PWI mengadakan pertemuan atau semacam konferensi di Jakarta, 1-2 Mei 1954, yang dihadiri oleh para pimpinan redaksi seluruh Indonesia serta para wakil PWI cabang. Pertemuan menyetujui pembentukan Panitia Ad hoc yang bertugas menyusun kode etik jurnalistik. Panitia Ad hoc dimaksud terdiri dari Suardi Tasrif (Ketua), S. Tahsin (Sekretaris), dan Anggota Moh. Said, Sjarif Sulaiman, dan Supeno. (Foto: www.jakarta.go.id)
--------------------
Ahad, 26 September 2010
Sejarah Dewan
Kehormatan PWI (2):
Merumuskan
Kode Etik Jurnalistik
Oleh: Asnawin Aminuddin
Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (DK-PWI) yang baru dibentuk
tersebut segera menghadapi tugas berat. Antara lain berkenaan dengan timbulnya
kasus yang kemudian terkenal dengan “Peristiwa 17 Oktober” 1952.
Kasus itu sendiri bermula dari
Markas Besar Angkatan Darat di bawah pimpinan Kolonel Abdul Haris Nasution yang
merasa tidak senang dengan perdebatan yang terjadi di DPRS (Dewan Perwakilan
Rakyat Sementara) mengenai masalah-masalah ketentaraan yang berpuncak
diterimanya Mosi Manai Sophiaan (PNI) yang bertujuan menyelidiki keadaan dalam
ABRI umumnya dan Angkatan Darat khususnya, secara lebih saksama.
Pada 17 Oktober 1952 terjadi
pengobrak-abrikan Gedung DPRS. Sekumpulan perwira menengah dan tinggi Angkatan
Darat menghadap Presiden Soekarno untuk mendesak pembubaran DPRS, sementara itu
istana dikelilingi oleh pasukan dengan meriam ditujukan ke istana. Sedang
Presiden Soekarno telah menolak desakan pimpinan Angkatan Darat waktu itu (PWI
Jaya Di Arena Masa oleh Soebagijo I.N.).
Buntut "Peristiwa 17
Oktober" ini terjadi polemik serius dan intens di kalangan pers. Akibatnya
timbul perpecahan yang sangat memprihatinkan di kalangan pers karena terjadi
pro-kontra atas peristiwa tersebut. Bahkan menurut Soebagijo I.N. dalam buku
"PWI Jaya Di Arena Masa", polemik yang terjadi dalam pers di Jakarta
sekitar peristiwa itu sudah merosot menjadi caci-maki yang bersifat pribadi
yang bisa dianggap merupakan ekses kebebasan pers di zaman demokrasi liberal
waktu itu.
Sekalipun Dewan Kehormatan PWI
yang baru terbentuk tersebut tidak secara khusus membuat sikap mengenai kasus
ini, perkembangan pers yang demikian mendorong perlunya dirumuskan secara
lengkap, rinci dan komprehensif Kode Etik Jurnalistik sebagai panduan bagi
Dewan dalam melakukan penilaian serta untuk menjatuhkan sanksi atas
pelanggarannya.
Kasus lain yang dihadapi Dewan
Kehormatan PWI berkenaan dengan masalah hak ingkar yang terkenal dengan
"Peristiwa Asa Bafagih" tahun 1952.
Duduk perkaranya ialah, Harian
Pemandangan, Jakarta di bawah pimpinan Pemimpin Redaksi Asa Bafagih pada
Agustus 1952 membuat berita sekitar "Rencana gaji baru untuk pegawai
negeri. Minimum Rp. 135.- dan maksimum Rp. 2.700.-" Berita tersebut berasal
dari sumber berita anonim. Dengan kata lain, Harian Pemandangan mempergunakan
hak tolak dengan melindungi sumber berita yang meminta identitasnya
dirahasiakan.
Pada 7 Oktober 1952, Asa
Bafagih dipanggil oleh Kejaksaan Agung untuk diperiksa sehubungan dengan
pengaduan dari Sekretaris Kementerian Urusan Pegawai yang menyatakan berita
tersebut termasuk "pembocoran rahasia negara".
Akan tetapi, sesuai ketentuan
Kode Etik Jurnalistik PWI, Asa Bafagih tetap melindungi sumber informasinya
dengan menolak menyebut siapa yang "membocorkan rahasia negara"
dimaksud.
Pemimpin Redaksi Harian
Pemandangan itu kembali berurusan dengan Kejaksaan Agung sehubungan dengan
pemuatan berita tanggal 18 Maret 1953 berjudul : "21 Perusahaan Industri
Dimana Menurut Rencana Modal Asing Baru Dapat Diusahakan".
Asa Bafagih diperiksa karena
ada surat dari Perdana Menteri Wilopo yang meminta Jaksa Agung memeriksa yang
bersangkutan karena berita yang diturunkan itu dikualifikasi sebagai perbuatan
melanggar delik pers. Dalam berita ini pun kembali Asa Bafagih mempergunakan
hak tolak karena sumber yang memberikan informasi dimaksud meminta identitasnya
dirahasiakan.
Karena Asa Bafagih tetap
bersikukuh melindungi identitas sumber informasinya di satu sisi, sedangkan di
sisi lain pihak Kejaksaan Agung berusaha terus-menerus untuk mengetahui siapa
yang menjadi sumber informasi dimaksud, menyebabkan persoalan ini berkembang
sehingga sarat dengan kepentingan politik.
Masalahnya kemudian menjadi
urusan organisasi, dalam hal ini PWI. Bahkan untuk pertama kali terjadi
demonstrasi wartawan secara besar-besaran di Jakarta dengan mengeluarkan sebuah
petisi berisi protes atas kasus pemanggilan Pemred Harian Pemandangan itu.
Dewan Kehormatan PWI yang baru
terbentuk juga dihadapkan pada "Peristiwa Asa Bafagih" ini. Kasus
tersebut merupakan perkara kode etik pertama yang ditangani oleh Dewan
Kehormatan PWI.
"Peristiwa Asa
Bafagih" mendapat perhatian serius dari Pengurus Pusat PWI. Antara lain,
kasus itu dibahas dalam Kongres PWI di Denpasar, Bali, pada Agustus 1953.
Kemudian Pengurus Pusat PWI mengeluarkan Petisi yang antara lain, berisi
tuntutan supaya menghentikan penuntutan atas Asa Bafagih.
Kasus itu berkaitan dengan hak
ingkar (hak tolak) yang dijamin sepenuhnya oleh kode etik jurnalistik. Selain
mengeluarkan petisi yang ditujukan ke Jaksa Agung, Pengurus Pusat PWI juga
meminta Dewan Kehormatan PWI memberikan sikap atas kasus yang dihadapi oleh
Pemimpin Redaksi Harian Pemandangan tersebut.
Dewan Kehormatan PWI dalam
pertimbangannya pada 8 Agustus 1953 yang ditandatangani oleh Wakil Ketua Mr.
Moh. Natsir dan Roeslan Abdulgani sebagai anggota menyatakan supaya meninjau
kembali apa yang dimaksud oleh pemerintah dengan "rahasia negara"
dalam kasus ini.
Kemudian mengenai hak ingkar,
sekalipun pemerintah belum secara formal mengakui hak itu, tapi sebaliknya
telah diakui oleh kode etik maka seharusnya diambil kebijaksanaan dalam perkara
ini sesuai tuntutan PWI Kring Jakarta. Dewan Kehormatan PWI dalam kesimpulannya
itu mengingatkan bahwa wartawan dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik
sepenuhnya berpedoman kepada ketentuan kode etik.
Kaidah kode etik jurnalistik
yang berkaitan dengan "Peristiwa Asa Bafagih" serta dampak
"Peristiwa 17 Oktober" di kalangan pers di satu sisi dan dinamika
perkembangan pers liberal di sisi lain menyadarkan tokoh-tokoh PWI tentang
mutlak perlunya merumuskan kode etik jurnalistik secara formal dalam satu
naskah resmi.
Dengan adanya perumusan kode
etik secara otentik akan menjadi acuan Dewan Kehormatan PWI dalam memeriksa dan
memutus apakah telah terjadi pelanggaran kode etik atau tidak. Paling tidak,
dengan perumusan kode etik secara formal tersebut, akan terdapat dasar
pertimbangan yang baku bagi para anggota Dewan Kehormatan PWI dalam memberikan
pertimbangan atau putusan ada-tidaknya pelanggaran kode etik.
Apalagi, dengan sistem pers
liberal serta polemik yang berkepanjangan antara sesama pimpinan partai politik
melalui media massa, telah terjadi praktek-praktek yang cenderung mengabaikan
ketentuan kode etik jurnalistik. Antara lain, tokoh pers Suardi Tasrif, SH,
(almarhum) dalam berbagai kesempatan melontarkan kritiknya yang tajam atas
cara-cara pemberitaan pers yang kurang memperhatikan kode etik jurnalistik.
Antara lain mantan Ketua Dewan
Kehormatan PWI yang juga terkenal sebagai advokat senior itu mengatakan,
pelaksanaan kode etik masih kurang diperhatikan sehingga banyak terjadi
pelanggaran.
Pelanggaran itu antara lain
berupa pemberitaan yang diputar-balik, kabar-kabar angin yang tidak ada
dasarnya, isapan jempol yang ditambah dengan kata-kata mentereng seperti
"dari sumber yang layak dipercaya"; "dari kalangan-kalangan yang
mengetahui" dan lain-lain; berita-berita yang dibumbui untuk kepentingan
salah satu golongan; hampir merupakan hal biasa di dalam jurnalistik Indonesia
waktu itu.
Oleh karenanya, kekhawatiran bahwa
mutu pers Indonesia bukan meningkat tetapi malahan merosot adalah cukup
beralasan, seperti diuraikan dalam buku Sejarah Pers Nasional Dan Pembangunan
Pers Pancasila.
Jawaban atas perkembangan pers
yang demikian, Pengurus PWI dipelopori oleh Ketua PWI Jakarta, Tengku Syahril,
segera mengambil prakarsa mengadakan pertemuan atau semacam konferensi di
Jakarta.
Pertemuan itu dilangsungkan
pada 1-2 Mei 1954, dihadiri oleh para pimpinan redaksi seluruh Indonesia serta
para wakil PWI cabang. Untuk memperlancar pertemuan, penyusunan bahan masukan
bagi para peserta dipercayakan kepada S, Tasrif dan Sjarif Sulaiman. Mereka
berhasil mempersiapkan catatan sekitar kode etik jurnalistik serta lembaga yang
perlu dibentuk yang bertugas mengawasi pelaksanaannya.
Ternyata para peserta
pertemuan memberikan apresiasi yang tinggi atas uraian yang disampaikan oleh
S.Tasrif dan Sjarif Sulaiman. Juga memberikan pembahasan yang serius terhadap
pentingnya perumusan secara formal kode etik supaya ada pegangan yang baku dalam
menghadapi perkembangan pers. Tidak hanya itu, peserta pertemuan juga
memberikan respons yang sangat positif mengenai keberadaan serta kedudukan
berikut fungsi dan tugas Dewan Kehormatan PWI.
Akhirnya pertemuan tersebut
menyetujui pembentukan Panitia Ad hoc yang bertugas menyusun kode etik
jurnalistik yang kemudian akan dibahas dan ditetapkan dalam Kongres PWI
berikutnya. Panitia Ad hoc dimaksud terdiri dari Suardi Tasrif (Ketua), S.
Tahsin (Sekretaris), dan Anggota Moh. Said, Sjarif Sulaiman, dan Supeno.
Menurut buku Pers dan
Masyarakat terbitan Pengurus Pusat PWI 1954, pertemuan Jakarta itu, setelah
mendengar paparan S. Tasrif tentang kode etik jurnalistik berhasil merumuskan
beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1. Dalam pemberitaan perlu
diperhatikan kejujuran serta objectiviteit yang penting sekali bagi
journalistik yang sehat dan bertanggungjawab.
2. Mengenai pernyataan
pendapat dalam surat-surat kabar diperlukan sekali adanya toleransi antara para
wartawan, sehingga dalam pengujian bermacam pendapat (misalnya yang bersifat
polemik) dapat berlangsung dengan cara yang sportif dan bertanggungjawab.
3. Dalam mengupas
kejadian-kejadian dalam masyarakat adalah penting sekali, bahwa para wartawan
menghormati reputasi pribadi dari seseorang yang disinggung, dan tidak
melancarkan serangan-serangan serta tuduhan yang tidak mempunyai bukti yang
kuat.
4. Cara pojok perlu ditinjau
kembali, hingga opzet daripada pojok dapat dikembalikan pada umumnya semula,
ialah membahas soal-soal dengan cara-cara ringan dan humoristis, sehingga pojok
itu tak akan dipergunakan untuk maksud yang keliru.
Selain kesimpulan di atas yang
bersumber dari pemaparan S. Tasrif, pertemuan juga menambah beberapa kesimpulan
yang diambil dari pemikiran dan pendapat yang dikemukakan oleh para Pemimpin
Redaksi.
Kesimpulan tambahan dimaksud
sebagai berikut:
1. Dalam pemberitaan harus
dapat dipisahkan antara factual reporting dan opinion.
2. Harus pula diperhatikan
cara-cara melayani orang yang diserang dan hak membela bagi orang yang
diserang.
3. Para wartawan harus
menjunjung tinggi berita-berita off the record.
4. Para wartawan harus
memperhatikan bahwa headline berita mesti sesuai dengan isi beritanya.
Sedangkan dari pemaparan yang
disampaikan Sjarif Sulaiman, pertemuan mengambil kesimpulan bahwa terlepas dari
ketentuan-ketentuan yang mungkin diadakan dalam Undang-Undang Pers yang akan
dikeluarkan mengenai tugas-pekerjaan wartawan, PWI harus tetap mempunyai Dewan
Kehormatan sendiri untuk mengawasi pelaksanaan kode etik junalistik.
Dewan Kehormatan yang ada
perlu ditegaskan fungsi dan komposisinya dalam peraturan-peraturan khusus.
Panitia Ad hoc yang diketuai oleh S. Tasrif akhirnya berhasil merampungkan
tugasnya menyusun naskah kode etik junalistik.
Naskah yang dihasilkan oleh
Panitia Ad hoc inilah yang kemudian dibahas dalam Kongres VIII PWI di
Medan/Prapat pada 31 Desember hingga 2 November 1955.
Akhirnya naskah Kode Etik
Jurnalistik tersebut diterima dan disahkan oleh Kongres untuk selanjutnya
dinyatakan berlaku surut sejak 01 Mei 1955.
Kongres VIII PWI di Medan
tersebut ternyata tidak hanya mengesahkan naskah Kode Etik Jurnalistik yang
disusun oleh Panitia Ad hoc pimpinan S. Tasrif, SH, tapi juga mengeluarkan
seruan supaya seluruh anggota PWI menyadari sepenuhnya akan keberadaan kode
etik kemudian bertekad untuk menaati dan melaksanakannya secara bertanggung
jawab.
Juga diserukan supaya kode
etik yang telah disahkan itu dijadikan alat untuk melakukan koreksi terhadap
diri para anggota PWI sehingga dapat mengabdikan tugasnya untuk kepentingan
masyarakat umum.
Dalam buku Lintasan Sejarah
PWI yang diterbitkan oleh PWI Pusat & Departemen Penerangan tahun 1977
lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam Mukaddimah Code Djurnalistik PWI (begitulah
nama resminya) tahun 1955 itu dituangkan dengan jelas tak terpisahkannya
kemerdekaan pers dan unsur tanggung jawab.
"Bahwasanja kemerdekaan
pers adalah djiwa daripada persurat-kabaran jang merdeka dan salah satu dasar
daripada hak2 azasi manusia jang penting artinja bagi kelangsungan demokrasi
dan kekekalan perdamaian, dan karena (itu) harus dipertahankan dengan mutlak
oleh setiap wartawan. Kemerdekaan pers itu akan dapat dijamin berlangsungnja
djika setiap wartawan senantiasa dengan ichlas menjadari perasaan tanggung
djawab sebesar-besarnja atas dharmanja sebagai penuntun, pendidik dan penjuluh
masjarakat dan senantiasa mendjundjung tinggi kewadjiban bathinnja untuk
bersikap djudjur dan untuk mentjari kebenaran didalam menjiarkan berita2 dan
didalam mengemukakan pendapat2 tentang berbagai masalah kepada chalajak
ramai."
……
Sumber:
--
http://www.dewankehormatanpwi.com/V.03/profil.php?Subject=1, dikutip pada
Senin, 27 September 2010
-- http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2998/Suardi-Tasrif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar