Jumat, 22 Oktober 2010

SBY dan PWI Sulsel

Mungkin terlalu dipaksakan untuk membandingkan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Sulawesi Selatan, tetapi apa boleh buat, SBY dan PWI Sulsel memang kadang-kadang mendapat sorotan dan perlakuan yang sama dari berbagai pihak.







---------

23 Oktober 2010

 

 

Presiden SBY dan PWI Sulsel

 

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

(Pengurus PWI Sulsel)

 

Mungkin terlalu dipaksakan untuk membandingkan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Sulawesi Selatan, tetapi apa boleh buat, SBY dan PWI Sulsel memang kadang-kadang mendapat sorotan dan perlakuan yang sama dari berbagai pihak.

Banyak sekali kebijakan, ucapan, dan tindakan SBY yang mendapat sorotan dan kritikan. Tak jarang malah SBY dipersalahkan. Ketika meneteskan air mata haru pun, SBY dikritik. Seolah-olah tidak ada yang benar yang dilakukan oleh Presiden SBY.

Bahwa SBY memiliki kekurangan, itu pasti, tetapi kita juga tidak boleh menutup mata atas berbagai prestasi yang dicapai pemerintahan SBY-Boediono. Begitu pun dengan PWI Sulsel.

Banyak kegiatan organisasi wartawan tertua dan terbesar (minimal dari segi jumlah anggota) di Sulsel ini yang mendapat sorotan dan kritikan. Baik dari luar, maupun dari internal anggota organisasi. Tidak sedikit pula wartawan yang tadinya berhimpun di PWI Sulsel akhirnya keluar dan bergabung di organisasi kewartawanan lain.

Ketika PWI Sulsel mengadakan kegiatan dengan bekerja-sama pemerintah provinsi dan atau pemerintah kabupaten, sorotan dan kritikan pun datang dari berbagai pihak, baik dari kalangan wartawan maupun masyarakat umum.

Sebagai anak bangsa, saya berupaya berpikir positif terhadap pemerintah, termasuk kepada duet pemerintahan SBY-Boediono, tetapi tetap kritis secara konstruktif, artinya kalau mengeritik maka saya memiliki data dan argumentasi yang kuat, serta selalu berupaya menawarkan solusi.

Begitu pun sebagai salah seorang pengurus PWI Sulsel, saya juga selalu berupaya melakukan perbaikan internal, serta terbuka atas berbagai masukan dan kritikan dari berbagai pihak.

Saya sangat berterima-kasih atas berbagai sorotan dan kritikan dari berbagai pihak kepada PWI Sulsel. Sekadar diketahui, PWI Sulsel memiliki anggota kurang lebih 700 orang. Mereka bekerja di berbagai media cetak dan elektronik.

Untuk pembinaan anggota yang tersebar pada berbagai kabupaten dan kota se-Sulsel, PWI Sulsel membentuk beberapa PWI Perwakilan yang masing-masing meliputi beberapa kabupaten/kota.

Secara internal, kami juga sering mengadakan Pendidikan dan Latihan Jurnalistik bagi calon anggota PWI, maupun kepada wartawan yang sudah terdaftar sebagai anggota PWI Sulsel.

Pengurus dan anggota PWI Sulsel juga sering mengikuti berbagai macam pelatihan, seminar, lokakarya, diskusi, dan penataran yang bertujuan menambah wawasan dan meningkatkan kualitas wartawan.

Selain itu, tidak sedikit juga pengurus dan anggota PWI Sulsel yang melanjutkan pendidikan formal ke jenjang lebih tinggi, terutama program pascasarjana. Sejumlah anggota PWI Sulsel juga terdaftar sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi atau mendapat kehormatan sebagai dosen luar biasa untuk mata kuliah yang berkaitan dengan jurnalistik dan komunikasi massa.

Tetapi begitulah. Banyak sisi baik yang dimiliki dan dilakukan oleh Presiden SBY dan PWI Sulsel, tetapi sisi baik itu kurang mendapat perhatian. Sebaliknya, sisi lain yang dianggap kurang baguslah yang selalu disoroti dan dikritisi.

Dalam berbagai kesempatan, kami sering mengatakan kepada teman-teman pengurus dan anggota PWI Sulsel, bahwa kalau ada program kegiatan yang dianggap positif dan bermanfaat bagi orang banyak, silakan kerjakan. Jangan malu apalagi takut dikritik, karena para Nabi dan Rasul pun dikritik, padahal mereka jelas-jelas utusan Allah SWT.

 

Luqman Hakim

 

Kami juga sering mengulang sebuah riwayat tentang Luqman Hakim (orang bijak yang namanya diabadikan dalam Al-Qur'an) bersama anaknya.

Dikisahkan bahwa suatu hari Luqman Hakim masuk ke sebuah pasar dengan menaiki seekor keledai, sedangkan anaknya berjalan mengiringi. Melihat tingkah laku Luqman itu, sebagian orang pun berkata; “Lihatlah orang tua yang tidak punya perasaan itu, ia enak-enak duduk di punggung keledai, sedangkan anaknya dibiarkan berjalan kaki.”

Mendengar ucapan itu, Luqman pun turun dari keledainya lalu menyuruh anaknya naik menggantikannya. Belum lama berjalan, kembali terdengar orang memperbincangkannya; “Wahai, lihatlah mereka. Orangtuanya berjalan kaki, sedangkan anaknya enak-enakan di atas keledai. Sungguh kurang ajar anak itu.”

Merasa tidak enak dengan ucapan itu, Luqman Hakim segera naik ke punggung keledai, sehingga mereka berdua kini duduk di punggung keledai, tetapi belum jauh berjalan kembali terdengar orang-orang di pasar berujar, “Lihatlah, kasihan sekali keledai kecil itu dinaiki oleh dua orang sekaligus. Sungguh terlalu.”

Luqman Hakim dan anaknya kemudian turun dari punggung keledai dan mereka pun berjalan kaki, namun lagi-lagi terdengar ucapan kurang bagus, “Lihatlah, mereka berdua begitu bodoh. Mereka berjalan kaki, padahal mereka memiliki keledai.”

Sesampai di rumahnya, Luqman Hakim kemudian menasehati anaknya tentang sikap dan perilaku manusia.

“Wahai anakku, sesungguhnya tiada terlepas seseorang itu dari percakapan manusia. Maka orang yang berakal tiadalah dia mengambil pertimbangan melainkan kepada Allah SWT saja. Barang siapa mengenal kebenaran, itulah yang menjadi pertimbangannya dalam setiap mengambil tindakan,” kata Lukman.

Kemudian Luqman Hakim berpesan kepada anaknya, katanya, “Wahai anakku, tuntutlah rezeki yang halal supaya kamu tidak menjadi fakir. Sesungguhnya tiadalah orang fakir itu melainkan tertimpa kepadanya tiga perkara, yaitu tipis keyakinannya (iman) tentang agamanya, lemah akalnya (mudah tertipu dan diperdayai orang), dan hilang kemuliaan hatinya (kepribadiannya). Dan lebih celaka lagi daripada tiga perkara itu ialah orang-orang yang suka merendah-rendahkan dan meringan-ringankannya.”

 

Makassar, 23 Oktober 2010 

Tidak ada komentar: