Pernyataan Sikap Lembaga Bantuan Hukum Pers
Terhadap Meninggalnya Jurnalis Surat Kabar Harian KOMPAS Muhammad Syaifullah
No. 10/SK-PR/LBH Pers/VII/2010
Wartawan Surat Kabar Harian Kompas, Muhammad Syaifullah, yang juga merupakan Kepala Biro Kompas di Kalimantan berkedudukan di Balikpapan, hari Senin (26 Juli 2010) ditemukan meninggal.
Informasi yang didapat dari media lokal maupun nasional, tubuh Muhammad Syaifullah penuh lebam dan mulut korban juga penuh dengan busa. Syaifullah ditemukan meninggal di depan TV di depan rumah dinasnya di Balikpapan. Hingga kini, belum diketahui secara pasti penyebab kematian Syaifullah. Namun, kabar yang beredar di kalangan wartawan, ada kemungkinan Syaifullah diracun. Dugaan ini menguat, karena sebelumnya almarhum menulis tentang centang perenang tak eloknya kasus bisnis batu bara di Kaltim.
Lembaga Bantuan Hukum Pers menilai apa yang dialami oleh almarhum Muhammad Syaifullah adalah bukti bahwa perlindungan terhadap jurnalis masih sangat lemah.
Selain itu peristiwa ini dapat membawa preseden buruk bagi kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Apabila benar almarhum Muhammad Syaifullah meninggal dibunuh akibat pemberitaan yang ditulisnya, Lembaga Bantuan Hukum Pers menuntut kepada pihak Kepolisian Daerah Kalimantan Timur untuk mengusut tuntas dengan melakukan penyidikan secara mendalam mengungkap pelaku dan aktor dibalik kasus tersebut.
Pengungkapan kasus terbunuhnya wartawan sangat penting agar tidak ada lagi kasus terbunuh/pembunuhan wartawan di Indonesia.
Lembaga Bantuan Hukum Pers mengajak semua pihak untuk menghormati profesi jurnalis dan tidak ada lagi kasus pembunuhan terhadap jurnalis yang dapat ditolerir dan pelaku pembunuhan harus dihukum seberat-beratnya.
Terhadap kasus meninggalnya almarhum Muhammad Syaifullah, LBH Pers menyatakan sikap:
1. Turut berduka-cita atas meninggalnya almarhum Muhammad Syaifullah, jurnalis Surat Kabar Harian KOMPAS yang berkedudukan di Balikpapan Kalimantan Timur. Kejadian ini menambah daftar panjang kasus pembunuhan yang menimpa jurnalis dalam menjalankan profesinya.
2. Menuntut kepada pimpinan Kepolisian Republik Indonesia untuk mengusut tuntas motif dan pelaku yang mengakibatkan meninggalnya almarhum Muhammad Syaifullah dan membawa pelaku ke pengadilan.
3. Menyerukan segenap lapisan masyarakat untuk senantiasa mendukung dan menghormati kebebasan pers. Dengan menyelesaikan setiap sengkata pers melalui mediasi Dewan Pers sebagaimana diatur dalam UU No. 40/1999 tentang Pers, tidak dengan melakukan tindakan main hakim sendiri .
Jakarta, 26 Juli 2010
Hendrayana, SH
Direktur LBH Pers
Kamis, 29 Juli 2010
Rabu, 28 Juli 2010
Wartawan Senior Moein MG Meninggal Dunia
Gaya Berkomunikasi di Tengah Konflik

Gaya Berkomunikasi di Tengah Konflik
Oleh Asnawin
(Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Satria Makassar)
Harian TRIBUN TIMUR, Makassar
http://www.tribun-timur.com/read/artikel/120278/Gaya-Berkomunikasi-Ditengah-Konflik
Selasa, 27 Juli 2010
Banyak orang hebat di sekeliling kita. Ada politisi, ada pejabat birokrat, ada artis, ada pengusaha, ada akademisi, ada orang LSM, ada pengacara, ada tentara, ada polisi, dan lain-lain.
Mereka hebat di bidangnya masing-masing. Ada juga yang mampu menunjukkan kehebatannya dalam dua bidang atau lebih sekaligus.
Jika diamati lebih jauh, ternyata orang-orang hebat tersebut punya gaya tersendiri dalam berkomunikasi satu sama lain.
Komunikasi antar-mereka sering dilakukan secara langsung, tetapi tidak jarang juga dilakukan secara tidak langsung.
Ketika tidak ada masalah di antara mereka, maka komunikasi langsunglah yang sering digunakan, tetapi ketika terjadi masalah atau konflik, maka mereka lebih sering berkomunikasi secara tidak langsung.
Sebelum membahas lebih jauh tentang gaya komunikasi orang-orang hebat, ada baiknya kita pahami terlebih dahulu apa atau siapa yang dimaksud dengan orang hebat itu.
Apa yang membuat mereka disebut orang hebat, serta apa bedanya antara orang hebat dengan orang biasa.
Orang hebat itu adalah orang yang memiliki kelebihan atau keistimewaan dibandingkan orang biasa, serta hidup dari satu pencapaian ke pencapaian berikutnya.
Mereka mengejar dan mencapai apa yang mereka inginkan. Setelah tercapai, orang hebat mengejar keinginan lain yang akan dicapainya dalam kurun waktu tertentu.
Orang hebat dan orang biasa sebenarnya sama saja. Mereka punya kesamaan yaitu sama-sama memiliki keinginan.
Orang hebat dan orang biasa sama-sama ingin lebih kaya, ingin lebih terkenal, ingin lebih berpengaruh, ingin lebih dihormati, ingin lebih berkuasa, dan sebagainya.
Lalu apa yang membedakan antara orang hebat dengan orang biasa. Bedanya adalah orang hebat itu selalu bertindak, berani berbuat, berani mencoba, berani bertarung, serta berani menanggung risiko, sedangkan orang biasa tidak memiliki keberanian itu.
Orang biasa hanya memiliki keinginan, tetapi tidak berani bertindak. Mereka hanya bermimpi (di siang bolong) dan senang berandai-andai.
Tak jarang mereka (orang biasa) hanya membanggakan diri, membanggakan orangtuanya yang kaya-raya, membanggakan silsilah keluarganya, membanggakan masa lalunya, tetapi mereka tidak berbuat dan tidak melakukan apa-apa, sehingga tidak ada yang dicapainya sama sekali.
Orang hebat berkomunikasi satu sama lain dengan gayanya masing-masing.
Kadang-kadang mereka berkomunikasi secara langsung dalam suasana santai penuh canda dan tawa bila ada kesamaan pandang dan cita-cita.
Sebaliknya, mereka akan jarang berkomunikasi secara langsung dan lebih sering berkomunikasi secara tidak langsung bila terjadi konflik di antara mereka.
Dalam dunia politik, ada ungkapan kuno yang tampaknya masih berlaku hingga kini, yaitu tidak ada kawan abadi, yang abadi itu hanyalah kepentingan.
Ungkapan itu sepertinya juga sering berlaku dalam dunia lain (maksudnya dunia artis, dunia pengacara, dunia militer, dunia usaha, dan lain-lain).
Tercipta ''Kemesraan''
Ketika ada kesamaan pandang, cita-cita, dan kepentingan, maka orang-orang hebat itu biasanya saling mendekati satu sama lain.
Dari kedekatan itu kemudian tercipta ''kemesraan'', dan selanjutnya mereka bisa ''pacaran'', ''berselingkuh'', atau bahkan ''menikah.''
Seorang birokrat bisa saja menjalin ''kemesraan'' dengan seorang politisi atau seorang pengusaha jika ada kesamaan pandang, cita-cita, atau kepentingan.
Seorang pengacara bahkan bisa saja ''menikah'' dan ''duduk di pelaminan'' dengan seorang birokrat kalau mereka terpilih sebagai pasangan bupati dan wakil bupati.
Tetapi ketika terjadi perselisihan, perbedaan pendapat, dan konflik di antara mereka, maka ''kemesraan'' bisa berubah menjadi pertengkaran dan ''pernikahan'' bisa berujung perceraian. Itulah yang sering terjadi dalam dunia politik.
Dalam dunia usaha atau bisnis, konflik biasanya berujung pada pecahnya kongsi. Istilah kongsi pecah (dalam bahasa gaul sms kerap ditulis kong sie phe cah) biasa digunakan sebagai pengganti kata koalisi bubar dalam dunia politik.
Banyak bupati dan wakil bupati yang akhirnya bercerai kemudian bertarung satu sama lain dalam pemilihan kepala daerah periode berikutnya.
Tidak sedikit gubernur dan wakil gubernur yang akhirnya mencari pasangan lain saat maju dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur periode berikutnya.
Presiden dan wapres pun tak jarang berpisah dan mencari pasangan lain untuk bertarung pada Pemilu berikutnya.
Terjadi Konflik
Bagaimana para orang hebat itu berkomunikasi satu sama lain jika terjadi konflik di antara mereka? Karena mereka adalah orang-orang hebat dan bukan orang biasa, maka mereka biasanya memiliki gaya dan cara tersendiri berkomunikasi dalam situasi konflik atau perseteruan.
Gaya berkomunikasi orang-orang hebat yang tengah terlibat dalam konflik biasanya dilakukan dengan menggunakan simbol atau bahasa non-verbal.
Di depan publik, mereka biasanya kelihatan mesra, berjabat-tangan, berpelukan, bahkan tak jarang melakukan aksi cipika-cipiki alias cium pipi kanan-cium pipi kiri.
Setelah itu atau di balik layar, mereka kerap berkomunikasi dengan cara menunjukkan kehebatan masing-masing.
Ada yang menunjukkan kehebatannya dengan mencari pacar baru lalu bermesraan di depan publik.
Ada yang membentuk wadah baru. Ada yang meninggalkan wadah lama yang telah membesarkannya lalu pindah ke wadah lain.
Selain itu, ada pula orang hebat yang memang sengaja ingin menjatuhkan atau merusak nama baik mantan mitranya, antara lain dengan menyebarkan isu negatif, mengungkapkan borok atau kesalahan masa lalu, atau menyeret mantan mitranya ke pengadilan.
Orang hebat yang mahir bermain kata-kata lewat tulisan biasanya membuat artikel opini di media massa, yang berisi pembelaan diri, penjelasan tentang kondisi sebenarnya, dan atau keburukan mantan mitranya.
Jika kebetulan mantan mitranya juga pandai menulis, maka terjadilah polemik lewat tulisan di media cetak.
Apa pun cara atau gaya komunikasi yang dilakukan, sebenarnya hanya satu hal yang ingin disampaikan, yaitu pesan tentang kehebatan masing-masing.
Inti dari sebuah komunikasi adalah pesan. Tidak ada komunikasi tanpa pesan.
Kadang-kadang seseorang atau sebuah kelompok mengirim pesan secara langsung, tetapi tidak jarang juga pesan itu dikirim secara tidak langsung.
Biasanya orang lain atau kelompok lain yang dikirimi pesan akan membalas pesan tersebut dengan cara atau gaya tertentu.
Pengiriman, penerimaan, serta umpan balik dan tukar-menukar pesan secara tidak langsung itulah yang sering digunakan oleh orang-orang hebat dalam berkomunikasi satu sama lain.***
Gaya Berkomunikasi di Tengah Konflik

Gaya Berkomunikasi di Tengah Konflik
Oleh Asnawin
(Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Satria Makassar)
Harian TRIBUN TIMUR, Makassar
http://www.tribun-timur.com/read/artikel/120278/Gaya-Berkomunikasi-Ditengah-Konflik
Selasa, 27 Juli 2010
Banyak orang hebat di sekeliling kita. Ada politisi, ada pejabat birokrat, ada artis, ada pengusaha, ada akademisi, ada orang LSM, ada pengacara, ada tentara, ada polisi, dan lain-lain.
Mereka hebat di bidangnya masing-masing. Ada juga yang mampu menunjukkan kehebatannya dalam dua bidang atau lebih sekaligus.
Jika diamati lebih jauh, ternyata orang-orang hebat tersebut punya gaya tersendiri dalam berkomunikasi satu sama lain.
Komunikasi antar-mereka sering dilakukan secara langsung, tetapi tidak jarang juga dilakukan secara tidak langsung.
Ketika tidak ada masalah di antara mereka, maka komunikasi langsunglah yang sering digunakan, tetapi ketika terjadi masalah atau konflik, maka mereka lebih sering berkomunikasi secara tidak langsung.
Sebelum membahas lebih jauh tentang gaya komunikasi orang-orang hebat, ada baiknya kita pahami terlebih dahulu apa atau siapa yang dimaksud dengan orang hebat itu.
Apa yang membuat mereka disebut orang hebat, serta apa bedanya antara orang hebat dengan orang biasa.
Orang hebat itu adalah orang yang memiliki kelebihan atau keistimewaan dibandingkan orang biasa, serta hidup dari satu pencapaian ke pencapaian berikutnya.
Mereka mengejar dan mencapai apa yang mereka inginkan. Setelah tercapai, orang hebat mengejar keinginan lain yang akan dicapainya dalam kurun waktu tertentu.
Orang hebat dan orang biasa sebenarnya sama saja. Mereka punya kesamaan yaitu sama-sama memiliki keinginan.
Orang hebat dan orang biasa sama-sama ingin lebih kaya, ingin lebih terkenal, ingin lebih berpengaruh, ingin lebih dihormati, ingin lebih berkuasa, dan sebagainya.
Lalu apa yang membedakan antara orang hebat dengan orang biasa. Bedanya adalah orang hebat itu selalu bertindak, berani berbuat, berani mencoba, berani bertarung, serta berani menanggung risiko, sedangkan orang biasa tidak memiliki keberanian itu.
Orang biasa hanya memiliki keinginan, tetapi tidak berani bertindak. Mereka hanya bermimpi (di siang bolong) dan senang berandai-andai.
Tak jarang mereka (orang biasa) hanya membanggakan diri, membanggakan orangtuanya yang kaya-raya, membanggakan silsilah keluarganya, membanggakan masa lalunya, tetapi mereka tidak berbuat dan tidak melakukan apa-apa, sehingga tidak ada yang dicapainya sama sekali.
Orang hebat berkomunikasi satu sama lain dengan gayanya masing-masing.
Kadang-kadang mereka berkomunikasi secara langsung dalam suasana santai penuh canda dan tawa bila ada kesamaan pandang dan cita-cita.
Sebaliknya, mereka akan jarang berkomunikasi secara langsung dan lebih sering berkomunikasi secara tidak langsung bila terjadi konflik di antara mereka.
Dalam dunia politik, ada ungkapan kuno yang tampaknya masih berlaku hingga kini, yaitu tidak ada kawan abadi, yang abadi itu hanyalah kepentingan.
Ungkapan itu sepertinya juga sering berlaku dalam dunia lain (maksudnya dunia artis, dunia pengacara, dunia militer, dunia usaha, dan lain-lain).
Tercipta ''Kemesraan''
Ketika ada kesamaan pandang, cita-cita, dan kepentingan, maka orang-orang hebat itu biasanya saling mendekati satu sama lain.
Dari kedekatan itu kemudian tercipta ''kemesraan'', dan selanjutnya mereka bisa ''pacaran'', ''berselingkuh'', atau bahkan ''menikah.''
Seorang birokrat bisa saja menjalin ''kemesraan'' dengan seorang politisi atau seorang pengusaha jika ada kesamaan pandang, cita-cita, atau kepentingan.
Seorang pengacara bahkan bisa saja ''menikah'' dan ''duduk di pelaminan'' dengan seorang birokrat kalau mereka terpilih sebagai pasangan bupati dan wakil bupati.
Tetapi ketika terjadi perselisihan, perbedaan pendapat, dan konflik di antara mereka, maka ''kemesraan'' bisa berubah menjadi pertengkaran dan ''pernikahan'' bisa berujung perceraian. Itulah yang sering terjadi dalam dunia politik.
Dalam dunia usaha atau bisnis, konflik biasanya berujung pada pecahnya kongsi. Istilah kongsi pecah (dalam bahasa gaul sms kerap ditulis kong sie phe cah) biasa digunakan sebagai pengganti kata koalisi bubar dalam dunia politik.
Banyak bupati dan wakil bupati yang akhirnya bercerai kemudian bertarung satu sama lain dalam pemilihan kepala daerah periode berikutnya.
Tidak sedikit gubernur dan wakil gubernur yang akhirnya mencari pasangan lain saat maju dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur periode berikutnya.
Presiden dan wapres pun tak jarang berpisah dan mencari pasangan lain untuk bertarung pada Pemilu berikutnya.
Terjadi Konflik
Bagaimana para orang hebat itu berkomunikasi satu sama lain jika terjadi konflik di antara mereka? Karena mereka adalah orang-orang hebat dan bukan orang biasa, maka mereka biasanya memiliki gaya dan cara tersendiri berkomunikasi dalam situasi konflik atau perseteruan.
Gaya berkomunikasi orang-orang hebat yang tengah terlibat dalam konflik biasanya dilakukan dengan menggunakan simbol atau bahasa non-verbal.
Di depan publik, mereka biasanya kelihatan mesra, berjabat-tangan, berpelukan, bahkan tak jarang melakukan aksi cipika-cipiki alias cium pipi kanan-cium pipi kiri.
Setelah itu atau di balik layar, mereka kerap berkomunikasi dengan cara menunjukkan kehebatan masing-masing.
Ada yang menunjukkan kehebatannya dengan mencari pacar baru lalu bermesraan di depan publik.
Ada yang membentuk wadah baru. Ada yang meninggalkan wadah lama yang telah membesarkannya lalu pindah ke wadah lain.
Selain itu, ada pula orang hebat yang memang sengaja ingin menjatuhkan atau merusak nama baik mantan mitranya, antara lain dengan menyebarkan isu negatif, mengungkapkan borok atau kesalahan masa lalu, atau menyeret mantan mitranya ke pengadilan.
Orang hebat yang mahir bermain kata-kata lewat tulisan biasanya membuat artikel opini di media massa, yang berisi pembelaan diri, penjelasan tentang kondisi sebenarnya, dan atau keburukan mantan mitranya.
Jika kebetulan mantan mitranya juga pandai menulis, maka terjadilah polemik lewat tulisan di media cetak.
Apa pun cara atau gaya komunikasi yang dilakukan, sebenarnya hanya satu hal yang ingin disampaikan, yaitu pesan tentang kehebatan masing-masing.
Inti dari sebuah komunikasi adalah pesan. Tidak ada komunikasi tanpa pesan.
Kadang-kadang seseorang atau sebuah kelompok mengirim pesan secara langsung, tetapi tidak jarang juga pesan itu dikirim secara tidak langsung.
Biasanya orang lain atau kelompok lain yang dikirimi pesan akan membalas pesan tersebut dengan cara atau gaya tertentu.
Pengiriman, penerimaan, serta umpan balik dan tukar-menukar pesan secara tidak langsung itulah yang sering digunakan oleh orang-orang hebat dalam berkomunikasi satu sama lain.***
Sabtu, 17 Juli 2010
SPS Gelar Sosialisasi Internet Aman dan Sehat untuk Keluarga
SPS Gelar Sosialisasi Internet Aman dan Sehat untuk Keluarga
Makassar, 17 Juli 2010
Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat bekerja sama Direktorat Aplikasi dan Telematika Kementerian Komunikasi dan Informatika akan menggelar Sosialisasi Internet Aman dan Sehat untuk Keluarga, di Hotel Clarion Makassar, Senin, 26 Juli 2010.
Ketua SPS Sulawesi Selatan, Dahlan Kadir, kepada wartawan di Makassar, Sabtu, 17 Juli 2010, mengatakan, acara tersebut semula direncanakan diadakan di Hotel Makassar Golden, tetapi karena satu dan lain hal, maka acaranya dipindahkan ke Hotel Clarion di Jalan A.P.Pettarani, Makassar.
''Kepada semua pihak yang telah menerima undangan diharap maklum,'' katanya.
Makassar, 17 Juli 2010
Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat bekerja sama Direktorat Aplikasi dan Telematika Kementerian Komunikasi dan Informatika akan menggelar Sosialisasi Internet Aman dan Sehat untuk Keluarga, di Hotel Clarion Makassar, Senin, 26 Juli 2010.
Ketua SPS Sulawesi Selatan, Dahlan Kadir, kepada wartawan di Makassar, Sabtu, 17 Juli 2010, mengatakan, acara tersebut semula direncanakan diadakan di Hotel Makassar Golden, tetapi karena satu dan lain hal, maka acaranya dipindahkan ke Hotel Clarion di Jalan A.P.Pettarani, Makassar.
''Kepada semua pihak yang telah menerima undangan diharap maklum,'' katanya.
Selasa, 13 Juli 2010
Informasi Publik Harus Dibuka

Informasi Publik Harus Dibuka
Oleh : Asnawin
(Humas Kopertis Wilayah IX Sulawesi)
Dulu, semua informasi tertutup, kecuali yang dibuka. Sekarang, semua informasi terbuka, kecuali yang ditutup. Dulu, jangankan informasi pribadi, informasi publik pun banyak yang sengaja ditutup. Sekarang, jangankan informasi publik, informasi pribadi pun banyak yang sengaja dibuka.
Di era keterbukaan informasi dan kebebasan pers dewasa ini, semua informasi seolah-olah bebas dibuka dan disampaikan kepada publik, termasuk rekening pribadi pejabat publik dan video koleksi pribadi sepasang kekasih atau sepasang suami isteri.
Para pejabat publik dan selebritis kini tidak lagi bebas menyimpan rahasia, apalagi bersembunyi dari ’’pandangan mata’’ wartawan dan orang-orang di sekelilingnya, apalagi dari orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu atau akan mendapatkan keuntungan jika informasi rahasia dan borok para pejabat publik dan selebritis tersebut dibuka kepada publik.
Kita mungkin tak bisa lagi menghindar dari kenyataan seperti itu. Mungkin itulah antara lain ’’buah’’ dari era reformasi, era keterbukaan, era globalisasi, serta era informasi dan komunikasi.
’’Buah’’ tersebut juga jatuh dan menimpa badan publik yakni lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara.
Badan publik yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), kini tidak bisa lagi bebas ’’menyembunyikan’’ informasi.
Malah sebaliknya, badan publik-termasuk organisasi nonpemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan atau APBD, sumbangan masyarakat, dan atau luar negeri-harus membuka informasi publik kepada masyarakat, terutama bila ada yang meminta.
Jika ada badan publik yang dengan sengaja menyembunyikan atau tidak menyediakan informasi secara terbuka, maka badan publik tersebut bisa dituntut. Begitulah tuntutan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang mulai berlaku sejak April 2010.
Instansi pemerintah, kepolisian, militer, kejaksaan, pengadilan, partai politik, BUMN, lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), yayasan, dan organisasi lain yang anggaran atau dananya berasal dari APBN/APBD atau sumbangan masyarakat, harus menyiapkan diri menghadapi UU KIP.
UU KIP mewajibkan semua badan publik tersebut menyediakan informasi publik secara transparan. Di antara informasi publik yang harus dibuka secara transparan adalah semua rencana kebijakan publik, penggunaan keuangan, dan kegiatan yang dilakukan badan publik.
Meskipun demikian, tetap ada yang dikecualikan, yaitu informasi yang dirahasiakan dan hanya boleh diminta dengan beberapa persyaratan.
Pertanyaannya, manakah yang tergolong informasi publik yang harus tersedia dan terbuka untuk umum?
Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan atau badan publik lainnya yang sesuai dengan UU KIP, serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Di sinilah bedanya antara informasi biasa dan informasi pribadi dengan informasi publik. Kalau tidak menyangkut badan publik dan tidak berkaitan dengan kepentingan publik, maka informasi tersebut tidak termasuk informasi publik.
Tetapi badan publik tidak perlu mempersoalkan hal tersebut, karena bagaimana pun juga UU KIP sudah lahir dan diberlakukan, sehingga sudah menjadi kewajiban bagi badan publik untuk menyiapkan informasi publik dan informasi publik harus dibuka.
Pejabat PID
Apakah semua badan publik sudah menyiapkan informasi publik yang di lingkungannya masing-masing? Apakah semua badan publik sudah memiliki pejabat atau bagian khusus yang menangani informasi dan dokumentasi? Apakah orang-orang yang ditunjuk menangani informasi publik dan dokumentasi memiliki pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan di bidang tersebut?
Inilah salah satu masalah krusial yang dihadapi badan publik. Bisa dipastikan bahwa belum semua badan publik memiliki atau telah menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang bertanggungjawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan atau pelayanan informasi.
Kalau belum ada pejabat atau tenaga ahli yang memiliki kemampuan dalam hal penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan atau pelayanan informasi kepada publik, bagaimana mungkin informasi itu dapat disebarluaskan atau dirahasiakan dengan baik.
Kita berharap anggota Komisi Informasi benar-benar memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam bidang informasi publik. Badan Publik di berbagai instansi/lembaga lainnya pun harus mempersiapkan dan merekrut PPID yang kompeten di bidangnya dalam menjalankan aktivitas pengelolaan dan pelayanan informasi kepada publik.
PPID tidak harus berlatar-belakang pendidikan formal ilmu komunikasi, karena yang lebih penting adalah menguasai bidang pengelolaan informasi dan dokumentasi atau keterampilan dalam hal mengumpulkan, mengolah, mengorganisir, menyimpan, menyebarluaskan atau diseminasi, dan memberikan pelayanan informasi secara profesional.
Pimpinan instansi, lembaga, atau badan publik tidak boleh salah memilih orang dalam merekrut pejabat dari bidang lain yang sama sekali tidak memiliki kompetensi dalam bidang informasi dan dokumentasi. Juga tidak boleh hanya memindahkan staf dari bidang lain menjadi PPID, karena itu bukanlah langkah yang tepat.
Selain itu, masih banyak yang harus diperhatikan oleh badan publik dalam menyongsong pemberlakuan UU KIP, antara lain menyiapkan sistem manajemen informasi publik yang terorganisasi dan menyiapkan anggaran komunikasi publik.
Sistem manajemen informasi dan pengelolaannta tentu membutuhkan anggaran khusus, apalagi UU KIP ’’memerintahkan’’ badan publik menyediakan informasi publik secara berkala minimal dua kali dalam setahun.
Badan publik juga wajib menyampaikan informasi secara berkala melalui media massa (internal dan eksternal), menyampaikan informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak, serta menyampaikan kepada khalayak ramai informasi setiap saat melalui situs website.
Masyarakat menginginkan kemudahan dalam mengakses informasi publik dan UU KIP juga menegaskan hal tersebut. Masyarakat dan UU KIP menuntut informasi publik harus dibuka, maka badan publik harus memilih PPID yang profesional yang harus siap memenuhi tuntutan tersebut.
Keterangan:
- Artikel / Opini ini dimuat di harian Ujngpandang Ekspres, halaman 12, edisi Rabu, 14 Juli 2010.
Kamis, 08 Juli 2010
Siaran Pers IJTI ; soal Teror Terhadap Jurnalis
Kamis, 8 Juli 2001
SIARAN PERS (dikutip dari mediacare@yahoogroups.com, jurnalisme@yahoogroups.com), pada 9 Juli 2010
Teror Terhadap Jurnalis dan Media Profesional adalah Teror Terhadap Publik
Pada hari Rabu, 7 Juli 2010, sejumlah pria tidak dikenal telah menyerang 2 jurnalis (Darussalam dari Global TV dan Mas’ud Ibnu Samsuri dari Indosiar) yang tengah meliput pencemaran air dan udara di Desa Kadu, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang bersama sejumlah aktivis lingkungan.
Para penyerang merampas kamera jurnalis Indosiar dan mengancam akan membakar mobil yang digunakan wartawan dan aktivis lingkungan hidup. Pria-pria tak dikenal tersebut, diduga tidak menyukai kegiatan peliputan pencemaran yang disinyalir berasal dari beberapa pabrik yang beroperasi di sekitar lokasi.
Peristiwa penyerangan ini hanya berselang 1 hari dari peristiwa pelemparan bom molotov ke kantor Majalah Tempo. Selasa dini hari sekitar pukul 02:40 WIB, kantor Majalah Tempo di Jalan Proklamasi 72, Menteng, Jakarta Pusat, dilempari 2 bom molotov oleh 2 pengendara motor tak dikenal. Bom molotov itu meledak tepat di kaca depan kantor Majalah Tempo, namun tidak sampai menimbulkan kebakaran hebat karena api berhasil dipadamkan oleh petugas keamanan kantor Tempo.
Peristiwa penyerangan jurnalis di Tangerang dan pelemparan bom molotov ke kantor Majalah Tempo mengindikasikan hal yang sama: TEROR DAN INTIMIDASI TERHADAP JURNALIS DAN MEDIA. Teror dan intimidasi tersebut hampir dipastikan ditujukan untuk mengganggu dan menghambat kerja jurnalis dan media dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Sehubungan dengan itu, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyatakan:
1. Media dan jurnalis adalah kepanjangan dari indera publik. Melalui karya jurnalistik, publik bisa melihat, mendengar dan bahkan “mencium” serta dan “merasakan” fakta-fakta dan informasi yang berada jauh dan tidak terjangkau oleh indera alamiah mereka. Berkat kerja jurnalis dan media yang profesional, publik bisa mengetahui hal yang tersembunyi atau disembunyikan, juga hal-hal yang tidak bersuara ataupun sengaja tidak disuarakan. Jurnalis dan media bisa membuat publik menyadari dan mewaspadai hal-hal yang mengancam keselamatan mereka, mengancam kesejah-teraan dan penghidupan mereka ataupun hal-hal yang mengganggu kenyamanan hidup mereka. Karya jurnalistik, juga memberikan bahan kepada publik agar bisa membuat pilihan-pilihan yang bijak.
2. Semua manfaat karya jurnalistik tersebut akan terhambat dan bahkan terpasung jika jurnalis dan media yang profesional berada dalam bayang-bayang teror dan intimidasi. Oleh sebab itu segala bentuk teror dan intimidasi terhadap jurnalis dan media yang profesional pada dasarnya merupakan teror dan intimidasi terhadap publik.
3. Publik bersama jurnalis dan media harus melawan segala bentuk teror dan intimidasi terhadap jurnalis dan media yang menjalankan tugasnya secara profesional.
4. Penghalang-halangan terhadap kerja jurnalistik adalah pelanggaran terhadap Undang-Undang, khususnya Undang Undang Pers No 40/1998. Pelakunya bisa dipidana dengan hukuman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000, 00 (Lima ratus juta rupiah).
5. Polri dan seluruh aparatus penegak hukum harus memproses pelaku pelanggaran ini tanpa kecuali.
Ketua Umum : Imam Wahyudi
Wakil Sekjen : Winarto
SIARAN PERS (dikutip dari mediacare@yahoogroups.com, jurnalisme@yahoogroups.com), pada 9 Juli 2010
Teror Terhadap Jurnalis dan Media Profesional adalah Teror Terhadap Publik
Pada hari Rabu, 7 Juli 2010, sejumlah pria tidak dikenal telah menyerang 2 jurnalis (Darussalam dari Global TV dan Mas’ud Ibnu Samsuri dari Indosiar) yang tengah meliput pencemaran air dan udara di Desa Kadu, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang bersama sejumlah aktivis lingkungan.
Para penyerang merampas kamera jurnalis Indosiar dan mengancam akan membakar mobil yang digunakan wartawan dan aktivis lingkungan hidup. Pria-pria tak dikenal tersebut, diduga tidak menyukai kegiatan peliputan pencemaran yang disinyalir berasal dari beberapa pabrik yang beroperasi di sekitar lokasi.
Peristiwa penyerangan ini hanya berselang 1 hari dari peristiwa pelemparan bom molotov ke kantor Majalah Tempo. Selasa dini hari sekitar pukul 02:40 WIB, kantor Majalah Tempo di Jalan Proklamasi 72, Menteng, Jakarta Pusat, dilempari 2 bom molotov oleh 2 pengendara motor tak dikenal. Bom molotov itu meledak tepat di kaca depan kantor Majalah Tempo, namun tidak sampai menimbulkan kebakaran hebat karena api berhasil dipadamkan oleh petugas keamanan kantor Tempo.
Peristiwa penyerangan jurnalis di Tangerang dan pelemparan bom molotov ke kantor Majalah Tempo mengindikasikan hal yang sama: TEROR DAN INTIMIDASI TERHADAP JURNALIS DAN MEDIA. Teror dan intimidasi tersebut hampir dipastikan ditujukan untuk mengganggu dan menghambat kerja jurnalis dan media dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Sehubungan dengan itu, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyatakan:
1. Media dan jurnalis adalah kepanjangan dari indera publik. Melalui karya jurnalistik, publik bisa melihat, mendengar dan bahkan “mencium” serta dan “merasakan” fakta-fakta dan informasi yang berada jauh dan tidak terjangkau oleh indera alamiah mereka. Berkat kerja jurnalis dan media yang profesional, publik bisa mengetahui hal yang tersembunyi atau disembunyikan, juga hal-hal yang tidak bersuara ataupun sengaja tidak disuarakan. Jurnalis dan media bisa membuat publik menyadari dan mewaspadai hal-hal yang mengancam keselamatan mereka, mengancam kesejah-teraan dan penghidupan mereka ataupun hal-hal yang mengganggu kenyamanan hidup mereka. Karya jurnalistik, juga memberikan bahan kepada publik agar bisa membuat pilihan-pilihan yang bijak.
2. Semua manfaat karya jurnalistik tersebut akan terhambat dan bahkan terpasung jika jurnalis dan media yang profesional berada dalam bayang-bayang teror dan intimidasi. Oleh sebab itu segala bentuk teror dan intimidasi terhadap jurnalis dan media yang profesional pada dasarnya merupakan teror dan intimidasi terhadap publik.
3. Publik bersama jurnalis dan media harus melawan segala bentuk teror dan intimidasi terhadap jurnalis dan media yang menjalankan tugasnya secara profesional.
4. Penghalang-halangan terhadap kerja jurnalistik adalah pelanggaran terhadap Undang-Undang, khususnya Undang Undang Pers No 40/1998. Pelakunya bisa dipidana dengan hukuman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000, 00 (Lima ratus juta rupiah).
5. Polri dan seluruh aparatus penegak hukum harus memproses pelaku pelanggaran ini tanpa kecuali.
Ketua Umum : Imam Wahyudi
Wakil Sekjen : Winarto
Rabu, 07 Juli 2010
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)

Kode Etik Jurnalis Televisi Indonesia
Kode Etik Jurnalis Televisi Indonesia
MUKADDIMAH
Untuk menegakkan martabat, integritas, dan mutu Jurnalis Televisi Indonesia, serta bertumpu kepada kepercayaan masyarakat, dengan ini Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menetapkan Kode Etik Jurnalis Televisi, yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh jurnalis Televisi Indonesia.
Jurnalis Televisi Indonesia mengumpulkan dan menyajikan berita yang benar dan menarik minat masyarakat secara jujur dan bertanggung jawab.
MUKADDIMAH
Untuk menegakkan martabat, integritas, dan mutu Jurnalis Televisi Indonesia, serta bertumpu kepada kepercayaan masyarakat, dengan ini Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menetapkan Kode Etik Jurnalis Televisi, yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh jurnalis Televisi Indonesia.
Jurnalis Televisi Indonesia mengumpulkan dan menyajikan berita yang benar dan menarik minat masyarakat secara jujur dan bertanggung jawab.
Kode Etik Jurnalistik PWI
Kode Etik Jurnalistik
Bahwa sesungguhnya salah satu perwujudan kemerdekaan Negara Republik Indonesia adalah kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana diamanatkan oleh pasal 28 Undang-undang Dasar 1945. Oleh sebab itu kemerdekaan pers wajib dihormati oleh semua pihak.
Bahwa sesungguhnya salah satu perwujudan kemerdekaan Negara Republik Indonesia adalah kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana diamanatkan oleh pasal 28 Undang-undang Dasar 1945. Oleh sebab itu kemerdekaan pers wajib dihormati oleh semua pihak.
Undang-Undang Pers
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Kode Etik Jurnalistik
![]() |
PWI Sulsel Gelar Diklat, 22 Wartawan Tidak Lulus

Keterangan gambar: Ketua PWI Sulsel, Zulkifli Gani Ottoh (kedua dari kanan), didampingi Ketua Panitia, Asnawin (paling kanan), Wakil Ketua PWI Bidang Pendidikan Hasan Kuba (kedua dari kiri), dan pengurus harian Mustakim Tinulu, pada acara pembukaan pembukaan Diklat Kewartawanan Tingkat Lanjutan, di Ruang Diklat Gedung PWI Sulsel, Kamis, 1 Juli 2010. (foto: Andi Mahmud Pallawa)
PWI Sulsel Gelar Diklat, 22 Wartawan Tidak Lulus
Oleh: Asnawin
(Ketua Seksi Pendidikan PWI Sulsel)
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Sulawesi Selatan melaksanakan Pelatihan Kewartawanan Tingkat Lanjutan, di Gedung PWI Sulsel Jl. A. P. Pettarani No. 31, Makassar, 1-3 Juli 2010. Sebulan sebelumnya di tempat yang sama, PWI Sulsel juga melaksanakan Pelatihan Kewartawanan Tingkat Dasar.
Pelatihan Kewartawanan Tingkat Dasar diikuti 75 peserta dan 18 di antaranya tidak lulus dalam ujian yang dilaksanakan pada hari terakhir pelatihan, sedangkan pada pelatihan tingkat lanjutan tercatat empat peserta tidak lulus. Total peserta Diklat yang tidak lulus sebanyak 22 orang.
Sebagai ketua panitia pada kedua pelatihan tersebut, saya tentu merasa ada sedikit kekecewaan atas hasil tersebut, karena kami para panitia telah berupaya memberikan motivasi, melakukan latihan dan simulasi, tetapi tetap saja banyak peserta yang tidak lulus ujian.
Nilai yang diperoleh peserta yang lulus pun tidak terlalu menggembirakan. Mereka sangat lemah dalam teori dan praktek. Umumnya rekan-rekan wartawan yang ikut diklat kali ini, mengaku jarang membaca buku-buku jurnalistik dan tidak menguasai Undang-undang Pers (UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers) maupun Kode Etik Jurnalistik.
Ketika saya menunjukkan sebuah buku jurnalistik yang sampulnya berwarna merah berjudul ''Jurnalistik, Teori dan Praktek'', tak ada satu pun di antara peserta yang memilikinya.
Saya lalu mengatakan, wartawan sebaiknya jangan hanya asyik meliput berita-berita di lapangan, tetapi sebaiknya juga banyak membaca buku, sehingga ada keseimbangan antara teori dan praktek.
Selain itu, saya juga meminta mereka mengikuti berbagai perkembangan dalam dunia informasi dan komunikasi, terutama melalui internet, karena siapa pun juga pasti akan tertinggal bahkan terlindas kalau tidak mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia informasi dan komunikasi.
Ketua PWI Sulsel Zulkifli Gani Ottoh juga mengingatkan para peserta bahwa perkebangan dunia informasi dan komunikasi sangat pesat, sehingga kita perlu menyesuaikan diri agar tidak tidak ketinggalan dan agar tidak tertindas.
Yang menggembirakan bagi saya selaku Ketua Seksi Pendidikan PWI Sulsel, bahwa para peserta semuanya mengaku termotivasi belajar setelah mengikuti diklat, serta berjanji akan menjadi wartawan profesional.
Selasa, 06 Juli 2010
Humas, UU KIP, dan Bahasa

Humas, UU KIP, dan Bahasa
Oleh: Asnawin
(Humas Kopertis Wilayah IX Sulawesi)
Humas menyiapkan ‘’mental’’ institusi untuk memahami kepentingan publik, serta mengevaluasi perilaku publik dan institusi untuk direkomendasikan kepada pimpinan. Kata lainnya, humas menyiapkan prakondisi untuk mencapai saling pengertian, saling percaya, dan saling bantu terhadap tujuan-tujuan publik institusi yang diwakilinya.
Humas itu sebenarnya tergolong makhluk aneh. Bentuknya dapat berubah-ubah, tergantung bagaimana sebuah instansi memosisikannya. Ada humas struktural (divisi, bagian, atau sub bagian), ada pula humas fungsional (tidak ada dalam struktur). Tugas, fungsi, dan peranannya sama, tetapi perlakuan kepada mereka kadang-kadang berbeda.
Banyak sekali fungsi humas, tetapi ada dua fungsi pokoknya, yaitu fungsi konstruktif (perata jalan) dan fungsi korektif (pemadam kebakaran). Sebagai ‘’perata jalan’’, humas merupakan garda terdepan. Di belakangnya, ada ‘’rombongan’’ tujuan-tujuan institusi atau lembaga.
Fungsi konstruktif mendorong humas membuat aktivitas atau kegiatan terencana dan berkesinambungan. Dengan kata lain, humas bertindak preventif (mencegah).
Kalau ‘’api’’ sudah terlanjur menjalar dan ‘’membakar’’ institusi, maka humas harus memadamkan api tersebut. Maksudnya, jika terjadi krisis atau masalah dengan publik, maka humas harus proaktif mengatasinya (kuratif).
Sering terjadi, humas dipanggil dan dibutuhkan kehadirannya pada saat ada masalah atau krisis, tetapi dalam kondisi ‘’aman-aman saja’’, humas seolah-olah tidak dibutuhkan. Tidak ada bedanya dengan petugas pemadam kebakaran. Humas juga kerap disalahkan jika terjadi masalah atau krisis yang berkaitan dengan publik.
Menghadapi penerapan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) sejak 1 Mei 2010, humas pemerintahan dan humas lembaga-lembaga publik lainnya, pasti dituntut menjalankan kedua fungsi tersebut.
Humas pasti diharapkan ‘’meratakan jalan’’ dan menghindarkan terjadinya ‘’kebakaran’’. Artinya, humas harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat atau publik sebagai bentuk pertanggungjawaban atas segala tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada institusi, serta menyiapkan segala informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Pasal 13 UU KIP menekankan bahwa untuk mewujudkan pelayanan cepat, tepat, dan sederhana, maka setiap Badan Publik harus menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi, yang dibantu oleh pejabat fungsional.
Pejabat fungsional inilah yang biasa disebut humas. Pada sebagian besar instansi, apalagi instansi yang dibawahi oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten, seperti Dinas atau Badan, humas bukan jabatan struktural, melainkan hanya fungsional. Artinya, hanya difungsikan sebagai humas, tetapi tidak ada dalam struktur instansi atau kepegawaian.
Inilah kendala umum yang dialami para humas. Di satu sisi, mereka diberi tugas dan tanggung-jawab yang cukup besar, mulai dari menyediakan informasi publik, memberikan informasi kepada masyarakat luas tentang kegiatan instansi, hingga menciptakan citra positif instansi dan ”menangkis” berbagai ”serangan” informasi yang dapat merusak citra instansi.
Di sisi lain, humas tidak diberi kewenangan yang proporsional dan seringkali tidak dipenuhi kebutuhan-kebutuhannya dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Sekadar mengingatkan, humas atau hubungan masyarakat diadopsi dari bahasa Inggris, yakni public relations. Public relations (PR) adalah praktek mengelola komunikasi antara organisasi dengan publik atau masyarakatnya.
Dari pengertian tersebut, maka humas dapat diartikan sebagai seni berkomunikasi atau seni menciptakan pengertian publik yang lebih baik, sehingga dapat memperdalam kepercayaan masyarakat terhadap organisasi.
Dengan demikian, orang yang ditempatkan atau menempati posisi sebagai humas dalam sebuah instansi pemerintahan atau badan publik, harus memiliki jiwa seni dalam melaksanakan tugasnya. Tanpa jiwa seni itu, maka pejabat atau staf humas dapat mengalami stres dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, apalagi jika posisi humas hanya fungsional dengan tanggung jawab besar tanpa diimbangi fasilitas dan dana yang memadai.
UU KIP
Tidak perlu ada yang dikhawatirkan oleh para humas dengan terbit dan berlakunya UU KIP, apalagi jika para humas sudah menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Humas tidak perlu menghafal mati seluruh 13 bab dan 64 pasal dalam UU KIP, karena hanya sebagian yang berkait langsung dengan tugas dan fungsi humas.
Pasal-pasal yang perlu dibaca, didiskusikan, dan dipahami oleh para humas dalam undang-undang tersebut, antara lain pasal 7 ayat (4), tentang kewajiban membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap orang atas Informasi Publik. Informasi publik dimaksud tentu saja yang benar adanya dan tidak menyesatkan.
Humas juga perlu membaca dan memahami BAB IV tentang informasi yang wajib disediakan dan diumumkan, yakni informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala, informasi yang wajib diumumkan secara serta-merta, serta informasi yang wajib tersedia setiap saat.
Setiap tahun, humas juga wajib mengumumkan layanan informasi yang meliputi jumlah permintaan informasi yang diterima, waktu yang diperlukan Badan Publik dalam memenuhi setiap permintaan informasi, jumlah pemberian dan penolakan permintaan informasi, dan atau alasan penolakan permintaan informasi (pasal 12).
Humas dapat menolak memberikan informasi yang dikecualikan, karena hal tersebut diatur dalam Bab IV tentang informasi yang dikecualikan, khususnya pasal 17. Namun pasal 19 mengingatkan para humas agar melakukan pengujian dengan saksama dan penuh ketelitian sebelum menyatakan informasi publik tertentu yang dikecualikan untuk diakses oleh setiap orang.
Pastilah tidak semua informasi publik dapat begitu saja diberikan kepada setiap orang atau setiap pemohon, karena ada mekanisme yang mengaturnya, yaitu pada Bab VI tentang mekanisme memperoleh informasi.
Bahasa
Sebelum mengakhiri tulisan ini, penulis ingin mengingkatkan satu hal tentang pentingnya pengetahuan dan pemahaman bahasa bagi para humas.
Penulis yakin sudah banyak pejabat dan staf humas yang menguasai teknologi informasi dan komunikasi, sudah banyak yang mengelola media internal (buletin, tabloid, majalah, radio, website, blog), serta mahir membuat berita untuk media internal atau untuk siaran pers (press release).
Penulis juga yakin sudah banyak pejabat dan staf humas yang telah mengikuti pelatihan jurnalistik dan mungkin sering mengikuti kegiatan yang diadakan Bakohumas.
Meskipun demikian, penulis merasa perlu mengingatkan kepada rekan-rekan sesama pejabat atau staf humas tentang pentingnya mempelajari penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai ejaan yang disempurnakan, karena Informasi Publik harus disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami.
Keterangan: Artikel ini dimuat pada halaman 4 (Opini) harian Fajar, Makassar, Rabu, 7 Juli 2010 (http://www.fajar.co.id/koran/1278438416FAJAR.UTM_7_4.pdf)
Sabtu, 03 Juli 2010
Media Massa Cetak Tidak Akan Mati
Media Massa Cetak Tidak akan Mati
Oleh: Asnawin
Para penerbit surat kabar, majalah, dan tabloid tidak perlu khawatir dengan hadirnya berbagai macam teknologi informasi dan komunikasi. Mereka pun tak perlu terbebani oleh berbagai ramalan tentang masa depan media massa cetak, karena bagaimana pun juga media massa cetak tidak akan mati.
Yang penting, para pengelola media massa cetak harus melakukan berbagai penyesuaian dengan perubahan dan perkembangan yang ada, sehingga media massa cetak tetap eksis selamanya.
Demikian benang merah pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Pusat, Sukardi Darmawan, dan Direktur Eksekutif SPS Pusat, Aswono Wikan, pada acara Lokakarya Manajemen Pers yang dirangkaikan Musyawarah Cabang Pemilihan Pengurus SPS Sulsel Periode 2010-2014, di Hotel Makassar Golden, Rabu, 30 Juni 2010.
Sukardi mengatakan, perkembangan media digital di Amerika Serikat yang begitu pesat ternyata tidak mematikan media massa cetak yang ada. Kalau pun ada yang bangkrut dan mati, itu bukan karena kehadiran media digital, melainkan karena para pengelolanya tidak mampu melakukan berbagai perubahan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan yang ada.
"Sekali pun ada beberapa yang sudah bangkrut, namun itu bukan karena pengaruh era digital, tetapi lebih kepada persoalan keuangan," katanya.
Dia berharap para pengurus SPS Sulsel senantiasa merapatkan barisan dan membuat program kerja yang dapat membantu memberikan solusi kepada para pengelola media cetak agar media cetak yang ada tetap eksis.
Direktur Eksekutif SPS Pusat, Aswono Wikan juga secara tegas mengatakan bahwa era digital tidak akan menghilangkan eksistensi media cetak.
"Tidak perlu kita berpikir bahwa media cetak akan mati 10 atau 20 tahun ke depan, karena itu tidak akan terjadi," tandasnya.
Ketua SPS Sulsel periode 2010-2014, Dahlan Kadir mengakui bahwa kehadiran media digital tidak terlalu berpengaruh kepada penerbitan lokal di Sulawesi Selatan. Buktinya, media cetak yang ada umumnya tetap eksis, bahkan media cetak baru pun bermunculan.
''Kehadiran media digital bukan membunuh media cetak yang sudah lebih dulu ada, melainkan hanya menciptakan komunitas baru. Mengapa media cetak lokal tetap eksis, karena mereka punya pembaca tersendiri dan berita-beritanya pun kebanyakan berita lokal. Justru penerbitan lokal terbantu dengan kehadiran internet,'' tuturnya.
Dahlan Kadir yang telah berusia lebih dari 60 tahun wartawan sejak masih berusia belasan tahun dan kini menjabat Pemimpin Redaksi Surat Kabar Umum ''Tegas'' di Makassar.
Selain aktif di SPS Sulsel, Dahlan Kadir juga sudah puluhan tahun menjadi pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Sulawesi Selatan.
''Saya sudah puluhan tahun menjadi wartawan, jadi saya banyak tahu tentang perubahan dan perkembangan media massa di Sulawesi Selatan,'' kata Dahlan kepada penulis.
Oleh: Asnawin
Para penerbit surat kabar, majalah, dan tabloid tidak perlu khawatir dengan hadirnya berbagai macam teknologi informasi dan komunikasi. Mereka pun tak perlu terbebani oleh berbagai ramalan tentang masa depan media massa cetak, karena bagaimana pun juga media massa cetak tidak akan mati.
Yang penting, para pengelola media massa cetak harus melakukan berbagai penyesuaian dengan perubahan dan perkembangan yang ada, sehingga media massa cetak tetap eksis selamanya.
Demikian benang merah pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Pusat, Sukardi Darmawan, dan Direktur Eksekutif SPS Pusat, Aswono Wikan, pada acara Lokakarya Manajemen Pers yang dirangkaikan Musyawarah Cabang Pemilihan Pengurus SPS Sulsel Periode 2010-2014, di Hotel Makassar Golden, Rabu, 30 Juni 2010.
Sukardi mengatakan, perkembangan media digital di Amerika Serikat yang begitu pesat ternyata tidak mematikan media massa cetak yang ada. Kalau pun ada yang bangkrut dan mati, itu bukan karena kehadiran media digital, melainkan karena para pengelolanya tidak mampu melakukan berbagai perubahan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan yang ada.
"Sekali pun ada beberapa yang sudah bangkrut, namun itu bukan karena pengaruh era digital, tetapi lebih kepada persoalan keuangan," katanya.
Dia berharap para pengurus SPS Sulsel senantiasa merapatkan barisan dan membuat program kerja yang dapat membantu memberikan solusi kepada para pengelola media cetak agar media cetak yang ada tetap eksis.
Direktur Eksekutif SPS Pusat, Aswono Wikan juga secara tegas mengatakan bahwa era digital tidak akan menghilangkan eksistensi media cetak.
"Tidak perlu kita berpikir bahwa media cetak akan mati 10 atau 20 tahun ke depan, karena itu tidak akan terjadi," tandasnya.
Ketua SPS Sulsel periode 2010-2014, Dahlan Kadir mengakui bahwa kehadiran media digital tidak terlalu berpengaruh kepada penerbitan lokal di Sulawesi Selatan. Buktinya, media cetak yang ada umumnya tetap eksis, bahkan media cetak baru pun bermunculan.
''Kehadiran media digital bukan membunuh media cetak yang sudah lebih dulu ada, melainkan hanya menciptakan komunitas baru. Mengapa media cetak lokal tetap eksis, karena mereka punya pembaca tersendiri dan berita-beritanya pun kebanyakan berita lokal. Justru penerbitan lokal terbantu dengan kehadiran internet,'' tuturnya.
Dahlan Kadir yang telah berusia lebih dari 60 tahun wartawan sejak masih berusia belasan tahun dan kini menjabat Pemimpin Redaksi Surat Kabar Umum ''Tegas'' di Makassar.
Selain aktif di SPS Sulsel, Dahlan Kadir juga sudah puluhan tahun menjadi pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Sulawesi Selatan.
''Saya sudah puluhan tahun menjadi wartawan, jadi saya banyak tahu tentang perubahan dan perkembangan media massa di Sulawesi Selatan,'' kata Dahlan kepada penulis.
Langganan:
Postingan (Atom)